Lihat ke Halaman Asli

Allen Rangga

Unity in Diversity

Bencana Alam dalam Bingkai Adaptasi Alamiah Menuju Pertobatan Ekologis

Diperbarui: 8 April 2021   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2021 adalah masa penuh tantangan bagi dunia, khususnya Indonesia. Semenjak tahun 2020 dunia secara tunggang langgang, dibuat tergopoh-gopoh dengan hadirnya suatu wabah mematikan yang menimpa manusia di seantero jagat raya. Seluruh negara di dunia pun mendadak terdiam menatapi sejarah kehidupan yang seolah-olah tidak terbendung laju kecepatan penyebaran virus corona. Kehidupan sosial-ekonomi pun dipaksa berhenti, kalau tidak mau dikatakan mundur. Setiap negara pun dengan cara masing-masing mencari cara untuk keluar dari musibah kemanusiaan itu.

Di Indonesia wabah virus pertama kali teridentifikasi sekitar bulan Maret 2020. Akibatnya ialah kehidupan sosial masyarakat menjadi hancur berantakan. Seluruh masyarakat dipaksa untuk menjalankan aktifitas hariannya dari rumah, konsekuensinya ialah roda perekonomian menjadi mandek. Selain wabah virus corona yang sedang menyerang bangsa ini, di tahun 2020 juga memperlihatkan situasi sosial politik di tanah air yang "tidak bersahabat." Berbagai gelombang demonstrasi dan perkumpulan massa dalam jumlah banyak menjadi salah satu faktor penambahan jumlah dan penularan virus berbahaya tersebut.

Penyebaran wabah virus corona tidak menunjukan tanda-tanda penurunan di tahun 2020. Sampai pergantian tahun pun wabah tersebut semakin bertambah banyak. Tidak ada laporan yang mengindikasikan bahwa wabah ini akan segera berakhir walaupun pemerintah sudah memberikan kebijakan program vaksinasi gratis bagi seluruh warga. Dan, tidak menjadi jaminan pula bahwa warga yang sudah mendapatkan vaksinasi akan terhindar atau terbebas dari penularan itu. Bagi bangsa Indonesia, tahun 2021 menjadi momen yang sangat berat. Persoalan yang dihadapi bangsa ini tidak hanya persoalan covid-19, tetapi juga hingar bingar urusan politik menyita banyak energi oleh isu-isu murahan yang menggiring masyarkat pada konflik sosial. Dari beberapa persoalan di atas, ada satu peristiwa yang memilukan hati, suatu peristiwa yang menguras rasa kemanusiaan kita yaitu banjir bandang yang menelan puluhan bahkan ratusan masyarkat di sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur imbas dari badai Seroja.

Menurut ketua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawait mengatakan bahwa siklon Tropis Seroja yang mendatangkan banjir bandang, tanah longsor, hujan dengan intensitas sedang sampai lebat, ditambah petir, angin kencang, dan tingginya gelombang laut merupakan bukti nyata dari perubahan iklim. Lebih jauh ia menambahkan bahwa siklon tropis ini sangat jarang terjadi di daerah atau wilayah yang beriklim tropis, namun beberapa tahun terakhir ini menunjukan bahwa badai ini terjadi di wilayah tropis. Dalam sejarahnya badai seroja ini terjadi di Australia.

Terlepas dari pergeseran siklon badai tersebut, tragedi ini telah menghancurkan rumah, harta benda, bahkan nyawa manusia. Surat kabar Kompas memberitakan bahwa sampai hari ini (07 April 2021) jumlah korban meninggal dunia akibat banjir bandang mencapai 117 orang, selain jumlah korban luka-luka dan korban hilang. Kerugian materi dan kehilangan orang-orang tercinta dalam tragedi ini tentu sangat menyayat hati apalagi ditengah wabah virus corona ini.

Kita patut bertanya, siapakah yang bersalah atau bertanggung jawab dalam tragedi badai Seroja itu? Apakah pemerintah, orang lain (bukan diri kita sendiri)? Apakah badai kemanusiaan ini juga merupakan rencana Tuhan? Apakah ada ulah manusia sehingga alam menunjukan "taringnya" yang ganas?

Dalam kasus seperti badai di atas, sepertinya sangat sulit untuk bertanya bahkan menuduh siapa yang bersalah dan harus bertanggung jawab. Kita pasti menyesal dan bersedih atas peristiwa itu, namun menuduh pihak lain atau mencari kesalahan orang lain sebagai penyebab dari tragedi ini adalah tidak tepat dan tidak bijaksana. Ada beberapa kemungkinan jawaban yang bisa diajukan disini sebagai alternatif dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertama, Badai Seroja sebagai peristiwa alam. Kedua, Badai Seroja sebagai cara alam beradaptasi terhadap segala aktivitas manusia. Ketiga, Badai Seroja sebagai momen untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

A. Badai Seroja sebagai peristiwa alam

Kita perlu menyadari bahwa banjir bandang, tanah longsor, gunung meletus, gelombang laut yang tinggi merupakan gejala alam. Artinya kejadian tersebut bukan karena murni ulah manusia melainkan bagian dari proses alam itu sendiri, walaupun ada beberapa bencana terjadi karena dampak dari perilaku manusia yang buruk.

Ada dua hal yang bisa kita pahami dalam badai Seroja sebagai peristiwa alam. Pertama, terjadinya badai ini merupakan tanda alamiah alam. Dalam sejarah menunjukan bahwa badai Seroja biasanya terjadi di wilayah Australia. Namun beberapa tahun ini pergerakan badai tersebut bergeser ke arah tropis, yaitu menuju daratan NTT dan NTB. Kita tidak tahu alasan perubahan itu, tetapi satu hal yang pasti bahwa pergerakan badai Seroja sedikit banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim atau cuaca.

Kedua, perihal perubahan cuaca. Beberapa tahun ini berbagai elemen masyarakat dan pegiat lingkungan hidup membahas tentang perubahan iklim yang terjadi di dunia. Kita seringkali mendengar isu pemanasan global, permukaan gletser mencair, kebakaran hutan akibat bumi terlalu panas karena lapisan ozon menipis, polusi udara, pengolahan sampah yang tidak efektif yang akhirnya merusak lingkungan. Para pejuang lingkungan hidup memberi perhatian serius pada beberapa persoalan di atas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline