Oleh:
Andrian Fazwa Zakhira, Fernandez Pratama Halim, Mutia Salsabila, Nayla Salma Nur Husna
(Siswa/i SMA Negeri 1 Sungai Penuh)
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh aspek kehidupan manusia terutama bagi negara kita yang tercinta tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah sebagai hak dasar, hak atas tanah berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di Indonesia sendiri terdapat Undang-Undang yang mengatur tentang HAM, salah satunya yaitu dalam UU Nomor 39 Tahun 1999, yang berbunyi "Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia."
Meskipun terdapat Undang-Undang yang mengatur tentang HAM bagi setiap orang, tetapi masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi khususnya di Indonesia. Seperti kasus pelanggaran HAM di Rempang. Kasus ini bermula pada saat terjadi kontroversi besar terkait penggusuran warga setempat oleh pihak berwenang yang mengarah pada pelanggaran HAM yang mencolok.
Pemerintah awalnya berencana melakukan Pembangunan Rempang Eco city yang merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengna Singapura dan Malaysia yang telah direncanakan sejak tahun 2004. Tetapi warga setempat menolak karena mereka tidak ingin di pindahkan, sehingga terjadilah penggusuran secara paksa oleh pihak berwenang. Yang merugikan kurang lebih 700 kk, akibat penggusuran tersebut. Bahkan siswa SD yang sedang bersekolahpun harus menjadi korban akibat peristiwa itu. Banyak dari siswa SD yang mengalami trauma, gangguan psikologis, dan Kesehatan karena aksi penembakan Gas air mata yang memasuki Kawasan sekolah.
Peristiwa penggusuran di rempang bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia, hal yang sama juga pernah terjadi di Transyoigi Depok, pada hari Juma'at tanggal 17 Juni 2022.
Peristiwa ini termasuk salah satu penggusuran yang kontroversial dan termasuk salah satu pelanggaran HAM terkait hak Kepemilikan Tanah dan juga ada isu pengabaian hukum, karena ternyata lahan yang bangunannya digusur ada bukti sertifikat hak milik atas tanah. Selain isu penghancuran properti, ada perampasan barang barang warga, proses hukum di kepolisian yang diabaikan, serta dugaan keterlibatan Aparat Negara. Penggusuran ini dilakukan secara paksa oleh sekitar 50 orang tanpa seragam dan atribut Aparatur Negara, yang mengatas namakan PT. PP Property Tbk. Mereka menggusur secara brutal dengan merobohkan bangunan diatas tanah tersebut dengan dalih pengosongan Lahan. Anehnya tindakan tersebut justru dijaga dan disaksikan oleh aparat negara yang diantaranya menyandang senjata api laras panjang. A
Namun salah seorang korban bernama Jhon Simbolon mengatakan bahwa ia telah memperoleh tanah tersebut berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 24 September 1999 yang dibuat dihadapan Syamsul Faryeti, PPAT Wilayah Kecamatan Cimanggis Kota Depok, Jawa Barat. Bahkan pihaknya pernah diminta datang kekantor PP Property Tbk. Ia merasa percaya diri karna bukti yang dimiliki atas tanah tersebut tidak ada yang keliru. Namun pihak BUMN mengabaikan bukti tersebut. Kemudian tanah dan bangunannya di pagar seng sehingga akses keluar masuk tertutup.
Puncak kesedihan terjadi saat orang orang yang diperintah oleh PT PP Property Tbk menggunakan dua unit buldozer untuk meratakan bangunan miliknya. Bahkan mirisnya bangunan yang digunakan untuk menampung para anak yatim piatu yang dikelola oleh yayasan Dhuafa juga digusur secara paksa. Namun dengan gaya seperti preman, jerit tangis anak anak yatim piatu tersebut, tak menggerakkan nurani mereka agar bertindak lebih manusiawi. "Intinya, para warga hanya minta perlindungan hukum dan bisa meminta hak atas tanah bersertifikat kami dikembalikan seperti semula" ujar Ny. Mangatur Simanulang, istri dari Jhon Simbolon (Korban).
Para pemilik tanah yang sebelumnya dipagar seng kini telah dipagari beton oleh PT. PP Property Tbk juga menyampaikan pengaduan yang sama, sambil memperlihatkan foto bukti sertifikat hak milik. Bahkan diantaranya menyatakan, tanah mereka sudah divalidasi dikantor Pertanahan Nasional. "Jika bukti-bukti yang kami miliki tidak diakui negara, kepada siapa lagi kami harus mengadu," ujar salah seorang pengadu. Atas tindakan penggusuran oleh pihak PT PP Property, Tbk, maka beberapa warga telah membuat laporan di Polres Metro Depok. Namun, pihak kepolisian justru menyatakan menghentikan penyelidikan, tanpa alasan jelas. Hal ini mengakibatkan para warga merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum atas hak milik tanah dan bangunannya.