[caption caption="Patung-patung (Pantar) yang ada di Desa Dehes Asem, Kalteng, merupakan tanda pernah dilaksanakan pesta tiwah sebelumnya | dok. pribadi"][/caption]Kematian, bagi masyarakat suku pedalaman Kalimantan hanya merupakan akhir hidup manusia di dunia dan dimulainya perjalanan hidup di dunia lain yang mereka sebut dengan sebayan. Itulah sebabnya mengapa ritual kematian merupakan ritual yang dirayakan secara besar-besaran dan saat terakhir kebersamaan arwah dengan keluarga yang masih hidup ditandai dengan pesta kematian yang disebut dengan Ngensudah (Kalimantan Barat) dan Tiwah (Kalimantan Tengah).
[caption caption="Kerbau dan sapi, masing-masing satu ekor dipersiapkan sebagai kurban dalam acara tiwah. Hewan kurban ini belum termasuk babi dan ayam yang dikandang secara terpisah. | dok. Pribadi"]
[/caption]
Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa teman diundang ke Desa Dehes Asem, Kecamatan Bukit Raya, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah untuk menghadiri acara Tiwah yang dilakukan di desa tersebut. Berbeda dengan undangan sebelumnya, dipesta ini kami hadir sebagai undangan biasa, yang bisa diartikan kami tidak akan terlibat secara langsung dalam rangkaian acara tiwah, sederhananya kami hanya diundang sebagai penonton.
[caption caption="Tetabuhan berupa gong dan sejenis gamelan (tidak diketahui dengan pasti apakah ini ada pengaruh dari masuknya budaya Jawa), yang menjadi musik pengiring tarian Ganjan dan Bigal | dok. pribadi"]
[/caption]
Pesta Tiwah kali tergolong besar, karena mengurbankan satu ekor kerbau, satu ekor sapi dan beberapa ekor babi serta ayam. Dari informasi informal yang didapat dilapangan, pesta tiwah ini melibatkan beberapa keluarga terpandang di desa tersebut. Dan ini juga bisa dilihat dari beragamnya tamu yang hadir bahkan sampai melibatkan aparat kepolisian dari Polsek Katingan Hulu untuk mengamankan acara.
[caption caption="Salah seorang ibu yang menjadi tuan rumah pesta tiwah sedang menari nganjan mengelilingi ternak yang akan dijadikan kurban dalam acara pesta | dok. pribadi"]
[/caption]
Dibeberapa desa, acara Tiwah ini sudah disederhanakan dengan tidak menghilangkan esensi dari acara itu sendiri. Ini dimaksudkan untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh keluarga, karena biaya tiwah tergolong mahal dan bisa menghabiskan dana sampai ratusan juta rupiah.
[caption caption="Tari-tarian Nganjan dan Bigal diikuti oleh semua orang yang hadir (tidak ada paksaaan bagi yang enggan) dan umumnya nganjan lebih banyak diikuti oleh ibu-ibu dan para tetua adat. Tarian ini sederhana, tetapi membutuhkan keseimbangan yang baik dan kekuatan tumpu pada lutut dan paha | dok. pribadi"]
[/caption]
Itulah sebabnya mengapa Tiwah menjadi semacam kebanggaan bagi keluarga yang mampu menyelenggarakan. Pelaksanaan tiwah, merupakan tuntutan (kewajiban) dari kepercayaan yang mereka anut (masyarakat setempat menyebutnya agama Hindu Kaharingan), mereka percaya bahwa roh yang telah berpisah dari raga harus diantar menempuh perjalanan menuju sebayan dan perjalanan tersebut dipestai yang mereka sebut dengan pesta tiwah.
[caption caption="Persiapan pemotongan hewan kurban, sebelum dipotong hewan ditombak secara simbolis dan biasanya yang diminta untuk menyembelih yang beragama Islam, tujuannya agar daging dapat dinikmati oleh semua yang hadir | dok. pribadi"]
[/caption]
Karena biaya yang harus ditanggung keluarga sangat mahal, maka hanya keluarga-keluarga tertentu yang mampu melaksanakannya, walaupun tiwah dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan beberapa keluarga, tetapi biaya yang dikeluarkan tetap besar. Disinilah mengapa kemudian, pelaksanaan tiwah menjadi semacam kebanggaan bagi mereka. Bangga karena mampu melaksanakan amanah tiwah bagi keluarga dan bangga karena dananya besar. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan menjadi salah tolok ukur pelaksanaan tiwah.