Usulan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kepada Presiden Jokowi agar membubarkan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), mendapat berbagai tanggapan, dari yang pro (setuju) sampai yang kontra (menentang), dari yang kecewa sampai ada yang tersenyum gembira, tentu dengan alasan dan pertimbangan masing-masing.
Sejarah Singkat Terbentuknya IPDN
Dikutip dari website IPDN, pendidikan kepamongprajaan ini dirintis pada tahun 1920 dengan nama Opleiding School Voor Inlandshe Ambtenaren ( OSVIA ) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren ( MOSVIA ), lulusannya pada masa itu dimanfaatkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan.
Setelah Kemerdekaan kebutuhan terhadap tenaga pamong praja dalam pemerintah meningkat drastic, sehingga kemudian pada tahun 1948 dibentuklah lembaga pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah Menengah Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas ( SMPAA ) di Jakarta dan Makassar.
Selama kurun waktu dari tahun 1952-1954, pemerintah melaksanakan Kursus Dinas C (KDC), dibeberapa kota, untuk melahirkan tenaga-tenaga yang siap pakai. Dalam perkembangannya KDC ini dianggap tidak lagi memadai untuk melahirkan tenaga siap pakai. Pada tanggal 17 Maret 1956, didirikanlah Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Malang, berdasarkan SK Mendagri No. Pend.1/20/56 tanggl 24 September 1956, APDN tersebut dinyatakan bersifat nasional. Seiring dengan perkembangan, pada tahun 1967 didirikan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Malang, Jawa Timur yang dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan peningkatan kemampuan lulusan APDN. Pada tahun 1972 IIP Malang di pindahkan ke Jakarta, sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 tahun 1972.
Sejak saat itu, sampai tahun 2010 yang lalu lembaga pendidikan kepamongprajaan ini mengalami perubahan dan perkembangan berkali-kali sehingga sampai pada bentuk pendidikan yang dikenal luas saat ini. Kampus IPDN yang berdiri di Cilandak Jakarta, menyelenggarakan pendidikan Program Pascasarjan Strata Dua (S-2) dan Strata Tiga (S-3).
[caption caption="Rekam Jejak Pendidikan Pamong Praja | ipdn.ac.id"][/caption]
Kondisi Real di Daerah
Melihat sejarah dan perkembangan lembaga tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa sumbangsih lulusan IPDN terhadap perkembangan dan pelaksanaan administrasi negara sangat besar, sehingga wajar jika ada lulusan IPDN yang kecewa dengan pernyataan gubernur Ahok. Dan menjadi sesuatu yang lumrah jika kita sangat mudah menemukan atau menjumpai mereka dikantor-kantor pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat kelurahan.
Wacana dalam bentuk saran yang disampaikan gubernur Ahok, bukannya tanpa alasan, sebagai gubernur tentunya beliau telah memiliki data dan gambaran yang jelas tentang kualitas IPDN dan seperti yang dilangsir beberapa media mainstream pak Ahok mengakui bahwa banyak lulusan IPDN berkualitas baik. Tidak dapat dipungkiri, usulan pak Ahok telah menimbulkan sedikit guncangan yang pada akhirnya memunculkan pro dan kontra.
Dari gambaran ini, saya mencoba menelaah dari sudut yang lebih sempit dilingkup kabupaten ditempat saya bekerja (kita hanya focus pada satu masalah, pengangkatan camat oleh Bupati/Walikota). Yang pertama perlu sama-sama kita pahami bahwa jabatan pamong seperti camat bukan jabatan politis dan kedudukan mereka sebagai camat tidak melalui pemilihan langsung. Ini berbeda dengan pemilihan Bupati yang merupakan atasan langsung camat. Begitu juga pemilihan lurah/kepala desa, walapun statusnya dibawah koordinasi camat, tetapi jabatan sebagai lurah/kades ditentukan melalui pemilihan langsung.