[caption id="attachment_421335" align="aligncenter" width="527" caption="Ilustrasi | Alldie"][/caption]
Beberapa hari terakhir, saya terpana dengan riuhnya pemberitaan ijasah palsu, sampai-sampai saya perlu melukan pengecekan apakah ijasah anak-anak saya palsu atau asli. Sementara saya sendiri sudah tidak perduli, apakah ijasah yang dulunya saya dapatkan palsu atau tidak, toh tidak lama lagi saya akan pensiun dari dunia kekaryawanan. Diusia seperti saya tidak dibutuhkan lagi selembar isajah, tapi skill yang lebih diutamakan. Apalagi saya hanyalah buruh swasta.
Dari hasil penelusuran singkat dilapangan, saya tidak menemukan adanya ijasah palsu (ijasahnya yang dipalsukan), yang ditemukan kebanyakan proses untuk mendapatkan ijasah sarjananya yang perlu dipertanyakan. Karena secara normatif, untuk mendapatkan ijasah sarjana dibutuhkan 144 SKS dan waktu normal sekitar 4 (empat) tahun. Sementara yang ditemukan dilapangan, ijasah sarjana didapat dengan cara : (1) cukup kuliah sabtu dan minggu (mereka menyebutnya ekstension), (2)Kuliah beberapa kali, bahkan dosennya saja tidak kenal (3) tidak mendatangi bangku kuliah sama sekali, langsung wisuda.
Awal Kecurigaan, dan cara sederhana untuk mendeteksi.
Cara sederhana yang dilakukan untuk mendeteksi penggunaan ijasah palsu, bisa berpatokan pada perubahan penggunaan gelar akademik tahun 1993, sebelum tahun 1993, Sarjana Kehutanan, Sarjana Tehnik menggunakan gelar Insiyur (Ir), sementara untuk bidang-bidang sosial menggunakan gelar Doktorandus/Doktoranda (Drs/Dra). Layak dicurigai, mereka yang memiliki tahun kelahiran dibawah 1965, tetapi menggunakan S.Hut, S.Sos, ST, S.Agro dan lain-lain. (Tahun kelahiran dibisa dilihat pada NIP (Nomor Induk Pegawai).
Mayoritas Pengguna, PNS dan Anggota DPRD.
Kenyataan dilapangan menunjukan bahwa pengguna terbanyak ijasah jenis ini justru para aparatur negara, tidak satupun dari kalangan swasta. Ini dimungkinkan karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor : 12 Tahun 2002, tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil dan Surat Keputusan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nomor : 12 Tahun 2002.
Kemudahan yang diberikan pemerintah tersebut, membuka peluang kepada Aparatur Negara untuk menduduki jenjang tertentu dengan syarat memiliki ijasah tertentu. Peluang ini kemudian dimanfaatkan dengan cara mendapatkan ijasah sarjana dengan cara-cara yang kurang terpuji. Ada beberapa pihak yang berperan disini, yakni pemerintah, para Aparatur Negara dan lembaga pendidikan tinggi.
Dari perbincangan singkat dengan beberapa teman yang secara kebetulan menyandang gelar tersebut, mereka mengakui mofitasi utama menggunakan ijasah tersebut agar bisa menyetarakan golongan dan dengan sendirinya pendapatan bertambah ditambah lagi dengan kemudahan untuk mendapat promosi jabatan jika memiiki gelar sarjana.
Alhasil, mereka memiliki gelar sarjana, tetapi cara kerja dan cara berfikirnya tidak lebih baik dari Lulusan Sekolah Menengah Atas. Namun saya juga mendapati, walaupun ijasah sarjananya didapati dari hasil kuliah ekstension, ternyata kemampuan nalar dan kerja mereka sudah setara dengan sarjana “benaran” bahkan ada yang lebih.
Saya juga mendapati ada anggota DPRD yang memiliki gelar sarjana jenis ini, tetapi sepertinya mereka lebih kepada gengsi dan kebanggaan karena memiliki gelar kesarjanaan. Selain itu, mereka yang memiliki gelar sarjana memiliki peluang lebih besar untuk duduk sebagai ketua komisi tertentu, tidak perduli sarjana lulusan dari negeri antah berantah.
Tidak sedikitpun terbersit rasa malu atau sungkan karena ada “tempelan” gelar didepan dan dibelakang nama, padahal kemampuan akademisnya hampir tidak sebanding dengan gelar yang disandang. Cukup hanya sekadar memiliki gelar, tanpa perduli bagaimana pertanggungjawabanya terhadap gelar yang digunakan.
Tidak terbatas hanya pada Sarjana, bahkan untuk PNS saya menemukan banyak yang menggunakan gelar Magister. Dan gelar yang banyak dipakai MM (Magister Managemen) dan M.Si (Magister Sains). Entah mengapa kedua gelar level Magister justru MM dan M.Si yang banyak didapatkan.