Lihat ke Halaman Asli

Aldy M. Aripin

TERVERIFIKASI

Pengembara

Oleh-Oleh dari Pedalaman Kalbar: Mahalnya Biaya Transportasi dan Kesederhanaan Penduduk Setempat (I)

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1431728738265095918

[caption id="attachment_417778" align="aligncenter" width="527" caption="Peta dari Google Map, tidak mampu memprediksi jalan yang harus ditempuh karena minimnya data, letak Desa Kesange sendiri tidak akurat | Dok. Pribadi"][/caption]

Deretan bukit-bukit landai dan sedang itu bagian dari Pegunungan Muller-Schwaner, membentang membelah Kalimantan, kini sebagian diantaranya merana dan meratap, mencoba tumbuh perlahan mengembalikan jati dirinya seperti dulu, sisa pembalakan gila-gilaan belasan tahun lalu masih tersisa dan endapan lumpur tebal menjadi saksi bisu yang tak sanggup lagi bergemuruh.

Tanggal 13-15 Mei 2015, saya menelusuri sungai Melawi Kalimantan Barat, sampai ke Kecamatan Paling Hulu yaitu Ambalau yang masih terletak di pinggir sungai Melawi dan menginap disebuah desa bernama Nanga Kesangei, yang terletak di pinggir sungai Ambalau  (anak sungai Melawi).

Menyaksikan kearifan hidup masyarakat setempat, dengan segala keserhanaan yang tersisa, padahal belasan tahun yang lalu dari sungai ini, pernah mengalir ribuan kubik kayu produksi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) 100 hektar, deru mesin-mesin modern merambah hutan meraka tapi sayangnya kesejahteraan bukanlah menjadi milik mereka, mereka tetap saja menjadi masyarakat yang termarjinalkan.

[caption id="attachment_417779" align="aligncenter" width="527" caption="Perjalan ditempuh menggunakan Speed Boat 40Hp, melalui celah-celah bebatuan sungai, jika driver lengah sedikit saja, akan membahayakan semuanya | Dok. Pribadi"]

14317288891295188704

[/caption]

Keberangkatan ditempuh melalui jalur air, menggunakan speedboat 40 HP (Horse Power) selama kurang lebih 6 jam dari Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi (mudik sungai/melawan arus).  Kondisi air yang sedang surut, membuat batu-batu besar kiri kanan sungai bermunculan, sedikit mempersulit dan membuat perjalanan rawan kecelakaan.  Setibanya di Desa Lekawai penjalanan dilanjutkan menggunakan kendaraan roda empat milik perkebunan sawit yang beroperasi didaerah tersebut, guyuran hujan menambah “dahsyatnya” jalan, tanjakan yang mencapai hampir 60 derajat serta tebing dan jurang menjadi menu yang cukup menakutkan.  Bagusnya driver kendaraan sudah sangat familiar dengan medan, sekitar jam 16:15 WIB, kami tiba di Desa Nanga Kesangei.

Hawa hangat masih terasa menyergap, padahal disekiling desa sudah mulai menghijau kembali dengan tumbuhnya hutan-hutan muda.  Salah seorang teman yang ikut dalam rombongan menawarkan menginap di tempat keluarganya, karena tidak ada pilhan lain, kami dengan senang hati menerima tawarannya.

[caption id="attachment_417780" align="aligncenter" width="527" caption="DiLanting inilah saya dan rombongan menginap selama tiga hari dua malam, tanpa biaya. Tetapi sudah menjadi kebiasaan, jika menginap di perkampungan kami membeli semua keperluan makan dan meminta bantuan tuan rumah mamasaknya | Dok. Pribadi"]

14317290711613146647

[/caption]

Tempat menginap terasa istimewa, karena rumah yang maksud adalah sebuah “lanting” diatas air, berukuran tidak terlalu besar, hanya ada sebuah kamar, ruang tamu, ruang display tempat berjualan (karena alasan tertentu, ruangan tidak digunakan lagi) dan ruang makan.  Perapian dan toilet berada diluar lanting utama.

Keramahan keluarga ditempat kami menginap sangat terasa, walaupun saya hanya mengerti beberapa kata bahasa yang mereka gunakan. (percakapan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa Ut Danum (Arok-arok), bahasa ini sama persis dengan bahasa Dohoi yang digunakan sebagian masyarakat Kalimantan Tengah yang ada di jalur sungai Senamang,  tetapi ketika berhadapan dengan tamu, mereka menggunakan bahasa Indonesia, saya hanya mendapati satu orang tua yang sudah sepuh tidak mengerti bahasa Indonesia).

Penduduk Desa Nanga Kesangei mayoritas suku Daya Ut Danum (sebagian orang menyebut mereka suku ulu aik (hulu air/daerah penghuluan),  menganut agama Katolik dan Protestan.  Hasil percakapan dengan penduduk setempat, ternyata ada juga orang ut-danum yang menikah dengan orang suku madura dan hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya.

Perekonomian Masyarakat.
Dari pantuan sepanjang perjalan darat, saya melihat sisa-sisa pembalakan kayu secara serampangan belasan tahun yang lalu dan sekarang sebagian lahan dimanfaatkan oleh perkebunan sawit. Hutan-hutan muda sepanjang jalan, selain lahan sawit juga terlihat bekas perladangan dan kebun-kebun karet milik masyarakat. Ekonomi mereka ditunjang dari perladangan, menjadi karyawan pada perusahaan-perusahaan kayu yang masih beroperasi, bekerja sebagai buruh pada perkebunan sawit dan pembalakan kayu berupa balokan dan papan yang mereka pasarkan ke Kecamatan Ambalau.

Saya mencoba mencari tahu harga-harga barang di dua buah warung kecil yang terdapat di Desa, harga satu liter bensin berkisar Rp. 13.000,00 ketika air sungai mudah dilalui dan ketika musim kemarau harga bensin bisa melambung sampai Rp. 25.000,00 - Rp, 30.000,00/liter. Sambil tertawa perih seorang warga bernama Zainal menceritakan, “Kami tidak perduli dengan harga, yang penting barangnya ada. Kedengarannya kami seperti orang kaya, padahal anak istri menjerit dirumah, tapi mau bagaimana lagi?”, tuturnya setengah bertanya.

[caption id="attachment_417781" align="aligncenter" width="527" caption="Ibu ini sedang mencari ikan kecil (bauk) dan udang menggunakan alat tangkap yang disebut pemansai, kadang mereka lakukan saat air pasang naik atau saat melakukan kegiatan mandi cuci disungai, hasil tangkapan cukup untuk satu kali santapan sekeluarga | Dok. Pribadi"]

1431729607371619864

[/caption]

Untuk mencukupi gizi keluarga, para ibu mencari ikan kecil (bauk) atau udang kecil dengan alat tangkap pemansai, tidak banyak yang mereka peroleh, sambil mandi kesungai mereka bisa mendapat lauk untuk satu kali santap bersama keluarga.

Tradisi Lokal
Walaupun mereka sudah menganut Agama Katolik dan Protestan, tetapi tradisi lama masih belum mereka tinggalkan salah satunya tradisi kematian, ini bisa ditandai dengan adanya sepundu yang dibuat tahun 2013, selain itu mereka juga masih percaya adanya orang-orang halus penunggu sebuah tempat, sehingga pada tempat-tempat tertentu dibangun sebuah pondok kecil yang mereka namakan petajahan (tulisan lengkap menyusul :D).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline