[caption id="attachment_410548" align="aligncenter" width="542" caption="Sistim Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) | kehati.org"][/caption]
Presiden Jokowi telah menyetujui penghapusan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) khusus untuk meubel dan bahan kerajinan, persetujuan ini disampaikan oleh Sunoto, Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Amkri) setelah menghadap presiden Jokowi di instana Negara (15/4/2015). Proses penghapusan/pencoretan SVLK untuk mebel dan kerajinan menjadi tugas Menteri Perdagangan Rahmat Gobel.
Keharusan produk kehutanan yang diekspor menggunakan SVLK didasari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, namun karena banyak yang belum siap, Pelaksanaan Surat Keputusan tersebut ditunda dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 81/M-DAG/PER/12/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Seharusnya pelaksaan SVLK dimulai tanggal 01 Januari 2013, dimundur menjadi tanggal 01 Januari 2015 dan terbatas hanya untuk industri dengan jumlah modal sampai Rp. 500 juta.
Akibat dari penundaan tersebut, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terpaksa menerbitkan Permen LHK Nomor P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produiksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, yang intinya semakin menyederhanakan persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM), pemilik Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) mebel dan Furniture.
Setelah jangka waktu 2 (dua), ternyata industri mebel dan kerajinan tak kunjung siap, sampai akhirnya Presiden Jokowi, memutuskan untuk mencoret kewajiban industri mebel dan kerajinan memiliki V-Legal dalam melakukan ekspor.
Roh diterbitkannya peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG.PER/10/2012 adalah sebagai salah satu upaya pencegahan illegal logging yang marak terjadi bahkan sampai dengan hari ini. Saya berpendapat, kewajiban industri hilir (kecil dan menengah) memiliki Sertifikal Legalitas Kayusebagai syarat kepabeanan tidak signifikan sebagai upaya membantu pemberantasan illegal logging. Karena untuk industri kelas Rp. 100 juta sampai Rp. 500 juta tidak mampu mengupayakan sendiri bahan baku mentah. Peranan tersebut dipegang oleh Perhutani dan IUPHHK-HA/HT/RE/ Pemegang hak pengelolaan, kewajiban SVLK harus dilaksanakan oleh industri hulu dan tidak dibenarkan menjual bahan baku yang tidak/belum memiliki S-LK. Para pengusaha meubel dan kerajinan diwajibkan membeli bahan baku yang memiliki S-LK dari pemegang industri hulu.
Saya terlibat di industri ini lebih dari 20 tahun, jadi sangat paham bagaimana susah dan mahalnya biaya mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK). Karena sebelum SVLK dan PHPL menjadi mandatori, badan usaha ditempat saya bekerja telah lulus sertifikasi dari FSC (Forest Stewardship Council), atau sekarang lebih dikenal dengan Rainforest Alliance (RA) walaupun bersifat Voluntary (tidak diwajibkan).
Sampai saat ini, S-LK belum bisa andalkan sebagai sertifikasi legal untuk kegiatan Business to Business (B to B). S-LK lebih ditujukan kepada pemenuhan kewajiban Government to Government (G to G), artinya dengan adanya S-LK, pemerintah Indonesia mau menunjukan kepada Negara tujuan ekspor bahwa pengelolaan hutan yang menjadi tempat pengambilan bahan baku tersebut berasal dari hutan yang dikelola secara lestari (sustainable).
Waktu 2 (dua) tahun, seharusnya cukup waktu untuk mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu jika sebuah badan usaha mau memiliki sertifikat ini. Tetapi jika pemerintah mempertimbangkan kemampuan para pengusaha kecil dan menengah yang rendah, penghapusan kewajiban mereka mengurus Sertifikat Legalitas Kayu merupakan keputusan yang bijak. Tetapi pemerintah tetap harus mensyaratkan mereka membeli bahan baku dari industri hulu yang telah memiliki Sertifikal Legalitas Kayusebagai syarat produk mebel dan industri kerajinan lainnya boleh di ekspor. Dengan begitu, pemilik industri hulu tidak merasa terlalu dibebani dengan tanggung jawab kelestarian hutan sementara para pengelola industri hilir merasa diuntungkan.
Pemerintah harus berani menindak tegas perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta nasional yang tetap memproduksi kayu bulat tetapi belum mengantongi S-LK, sama halnya pemerintah jangan ragu menindak industri hilir yang terbukti membeli bahan baku dari sumber yang tidak syah.
Walaupun Presiden Jokowi telah menyatakan secara lisan kewajiban SVLK bagi industry mebel dan kerajinan lainnya akan dicabut, selama surat keputusan pencabutan belum diterbitkan, para pengusaha mebel dan kerajinan tetap saja belum bisa ekspor. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama Surat Keputusan sudah bisa diterbitkan oleh Pemerintah melalui Kementrian Perdagangan agar semua pihak mendapatkan kepastian usaha dari Pemerintah. Salam.
Bacaan : CNN-Indonesia, Kementrian LHK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H