Lihat ke Halaman Asli

Aldy M. Aripin

TERVERIFIKASI

Pengembara

Mendengar kata DPR/DPRD, Apa yang Ada di Benak Anda?

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1427559111590436286

[caption id="attachment_406093" align="aligncenter" width="480" caption="Sumber Gambar : http://cdn.metrotvnews.com/dynamic/content/2013/04/29/150114/150114.jpg?w=668"][/caption]

Setiap kali mendengar kata DPR/DPRD yang terbayang dalam kepala hanyalah kata "Koruptor", "Pembegal", "Mementingkan Diri Sendiri", "Mementingkan Kepentingan Kelompok" dan kata-kata lainnya berkonotasi negatif,  seburuk itukah tindak-tanduk mereka?

Saat ini, mungkin sebagian besar dari kita cukup sulit memberikan penilaian positif terhadap anggota dewan, karena sejauh ini yang mencuat kepermukaan selalu hal-hal yang berbau dan beraroma minus.   Anggota dewan tidak lagi mempresentasikan rakyat yang diwakilinya, mereka bukan lagi wakil yang sesungguhnya bagi rakyat, mereka hanyalah sekumpulan orang-orang yang mewakili kelompoknya.

Berikut ini beberapa kasus mencolok yang bisa dijadikan bahan penilaian :



  1. Adanya Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dari namanya seakan-akan orang-orang yang berada dalam koalisi tersebut menunjukan bahwa merekalah wakil rakyat yang sesungguhnya.   Penggunaan kata Merah Putih pastinya mengambil dari warna bendera Negara, karena seluruh rakyat Indonesia benderanya merah putih, artinya mereka mewakili seluruh rakyat. Benarkah? Kita bisa melihat kelakuan mereka di media audio visual pun kita bisa membacanya di berbagai tulisan media utama, mereka tidak lebih dari mewakili suara partai, mewakili suara kelompok tertentu.  Sekali lagi tak lebih dan tak kurang.

    Bagaimana dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), setali Sembilan uang, sami mawon, podo wae, sebelas dua belas.  Namanya saja Koalisi Indonesia Hebat, jangankan mewakili suara rakyat, membela Presiden yang jelas-jelas diusungnya dalam pilpres saja enggan, terpecah dalam kelompok-kelompok kecil, terjadi pro dan kontra.  Sebuah sikap yang aneh, padahal orang-orang ini seharusnya menjadi garda utama pendukung kebijakan Presiden.  Nyatanya mereka lebih mendengar bisik-bisik tidak jelas, yang pembisiknya sendiri tidak jelas siapa orangnya.


  2. Banyaknya kasus keterlibatan para anggota dewan baik yang sudah terbukti maupun diduga melakukan tindak pidana korupsi.  Contoh paling mutahir adalah sengketa Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD.  Aroma korupsi dan upaya korupsi menyeruak wangi bagaikan aroma kopi dipagi hari, walaupun sampai dengan saat ini belum ada yang terbukti dipengadilan.

    Tapi setidaknya ada diantaranya yang pernah terjerat kasus korupsi, tapi masih melenggang dan lungguh dengan santai.  Upaya yang dilakukan para Anggota DPRD untuk mencari kesalahan dan memakzulkan sang gubernur, tidak terlepas dari upaya mereka untuk membebaskan diri dari tuduhan korupsi.  Karena ternyata sang Gubernur enggan diajak main mata atau malah sang Gubernur tak pandai bermain mata.


  3. Adanya upaya-upaya para bekas Anggota Dewan yang terjerat korupsi melakukan perlawanan terhadap tuduhan yang dialamatkan kepada mereka.  Jika dalam kondisi normal, perlawanan yang mereka lakukan adalah hal yang wajar, tetapi ketika adanya upaya mereka memelintir kenyataan yang terjadi semakin menguatkan opini bahwa mereka memang melakukan kejahatan tersebut.  Pemelitiran dilakukan bukan dengan sporadis, tetapi sudah sistimatis dan melibatkan pengacara-pengacara berharga mahal.  Agak meragukan, dengan gaji normal yang mereka terima setiap bulan, apakah mampu untuk membayar biaya pengacara yang sedemikian mahal.


Tiga buah contoh diatas sekiranya cukup untuk menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini.  Tetapi apakah semua anggota DPR/DPRD mantan anggota DPR/DPRD adalah pelaku korupsi? Mungkin tidak semuanya dan saya masih percaya ada diantaranya yang tidak melakukan korupsi,, berbuat untuk kepentingan masyarakat, namun berapa banyak?

"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga", pepatah tua ini masih tetap relevan untuk digunakan, dan sungguh menyedihkan, mereka yang benar-benar membela kepentingan rakyat terbenam oleh hiruk pikuk rekan-rekannya yang melakukan tindak pidana korupsi.  Yang paling menyedihkan justru para pelaku korupsi itu sendiri, bukan hanya untuk dirinya tetapi berimbas kepada keluarga yang mungkin cap sebagai keluarga koruptor tidak akan hapus selama tiga turunan, enam tanjakan, tapi untuk selamanya...itulah asyiknya menjadi koruptor, nama mereka akan terpahat selamanya walaupun untuk sesuatu yanb buruk.

Jadi, apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kata DPR/DPRD? Adakah benak anda mampu mengubah stereotip pada alinea pertama diatas?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline