Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Senandika Sebelum Azan

Diperbarui: 3 Januari 2019   23:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi: Dokumen pribadi)

Segelas susu hangat dan segelas matcha latte hangat segera dihidangkan oleh wanita yang selalu tersenyum hangat. Udara dingin dari luar masuk bagaikan jarum-jarum yang menusuk kulit lalu tembus ke tulang. "Tolong tutup pintunya, Dik. Jendelanya juga."

"Cetlek.. cetlek..." Suara kompor gas terdengar masuk ke telinga. Tiga kali. Oh, tidak. Empat sampai lima kali, kira-kira. Tidak ada suara permintaan tolong. Aku rasa kompor sudah berhasil menyala. Aku masih duduk terdiam. Entah apa yang terjadi. Membisu, tertunduk pada layar komputer yang aku gunakan untuk mengetik.

Aku coba memejamkan mata. Semakin dalam menyelami jiwa. Aku mencari kegilasahan yang biasa hinggap di inti jantung. Tidak ada. Ya, tidak ada lagi kegelisahan. "Hoi.. Kegelisahan di mana kau? Di mana kau berada? Aku butuh engkau, kegilasahan".

Aku berjalan dalam pikiranku sendiri. Memasuki lorong-lorong waktu lampau. Mencari sesuatu, seseorang, atau apapun itu yang bisa aku bawa keluar dalam bentuk aksara. Lorong hari, lorong bulan, sampai lorong tahun demi tahun aku masuki. Nihil.

Segelas susu hangat dan segelas matcha latte hangat sudah terhidangkan. Aku meneguk susu hangat. Dan matcha latte hangat itu sudah berada ditangan wanita bersenyum hangat. Aku kembali keluar dari lorong-lorong masa lampau. Mataku tertuju padanya.

Rambutnya yang sebahu tergerai, dibiarkan tanpa ikat rambut. Kepalanya menunduk. Matanya tekun menatap bait-bait pada sebuah buku yang sedang ia pegang dengan mesra. Aku semakin tekun memandangnya. Entah kenapa ada sesuatu yang merasuk dalam pikiran.

Sudah satu tahun lebih aku bersamanya, wanita bersenyum hangat itu. Ini adalah tahun kedua kebersamaan kami. Dinamika kehidupan, naik-turun sedang kami hadapi. Kerikil-kerikil kecil yang kadang mengerikan harus kami lewati. Perlahan tapi pasti.

Aku memanggil. Ditutupnya buku itu. Lalu, ia mendekat. Mataku semakin fokus padanya. Aku kembali meneguk segelas susu yang masih hangat. Ia meneguk matcha latte yang juga masih hangat.

"Dewasa ini banyak orang-orang kosong di dekat kita, Dik. Ada raganya. Ada jiwanya. Tak ada suaranya. Aku melihat orang-orang itu tersenyum. Tapi tidak di dunia ini. Aku melihat orang-orang itu tersenyum dalam dunia lain.

Kamu ingat waktu kita makan bakso tempo hari?

Mula-mula satu orang duduk disamping meja kita. Tidak lama, dua orang datang menghampirinya. Sekarang menjadi tiga orang. Mereka saling sapa, berjabat tangan, dan bertanya kabar. Mereka cipika-cipiki, berswafoto, lalu duduk, dan terdiam. Kepala mereka tertunduk. Menyelami dunia yang maya itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline