Lihat ke Halaman Asli

Cermin Rumah Tangga dari "Milly & Mamet"

Diperbarui: 30 Desember 2018   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber Ilustrasi: sinopsisfilm.co.id)

Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta dan Rangga), sebetulnya bukanlah film yang saya tunggu-tunggu. Karena saya tidak begitu tertarik dengan spin off AADC 2 ini. Tetapi hari ini, Minggu 30/12/18, saya harus tetap menemani istri untuk menonton. Harus tetap menikmati tayangan yang ada. Paling tidak saya bisa jajan pop corn dan lemon tea.

Ernest Prakasa dan teman-temannya kembali membuat film bertemakan keluarga. Setelah saya terkesan dengan film Cek Toko Sebelah, saya kembali terkesan dengan garapan Ernest yang satu ini: Milly & Mamet.

Ketika banyak film cinta-cintaan yang lain mengisahkan tentang jatuh bangun seseorang mengejar pasangannya, lalu happy ending dengan pacaran atau menikah. Milly & Mamet mencoba keluar dari arus itu. Film ini bercerita tentang masalah-masalah yang terjadi ketika berumah tangga. Konflik batin, hubungan menantu dan mertua, ibu dan anak, suami dan istri. Serta konflik lainnya.

Cerita bagaimana Mamet mendekati Milly, menembak Milly, dan melamar Milly, tidak diceritakan dalam film ini layaknya film-film romansa pada umumnya. Beberapa gambaran berupa foto-foto pernikahan Milly dan Mamet, kehamilan Milly, serta kehadiran Sakti, anak Milly & Mamet, ditayangan sekilas pada awal film. Sampai di sini, sudah paham kan, kalau ini tidak akan mengangkat romansa cinta-cintaan saat pacaran.

Oke. Saya stop sampai di sini. Saya tidak akan menceritakan jalan ceritanya.

Saya terkesan pada satu adegan ketika Milly masih sibuk di pabrik konveksi ayahnya, sementara Sakti, yang diasuh oleh Sari (Arafah Rianti) di rumah, menangis rewel karena tumbuh gigi. Tidak seperti biasanya Mamet pulang lebih dulu daripada Milly. Mamet terkejut dan khawatir melihat Sakti yang urung diam.

Mamet kesal, segera menelpon Milly untuk memintanya cepat pulang. Namun Milly menjawab, "Mungkin setengah jam lagi". Dengan tegas Mamet berkata, "Aku mau kamu pulang sekarang". Milly pun mengaminkannya.

Tidak hanya sampai di situ. Ketegangan masih berlanjut. Kalimat "Kamu kan yang menjaga sakti, yang biasa merawat Sakti. Harusnya kamu yang ada di sini, dong.", keluar dari Mamet yang masih terlihat emosi. Milly tidak diam, ia menjawab, "Aku yang melahirkan Sakti, merawat Sakti setiap hari sampai aku tidak punya kehidupan. Oh, aku yang salah? Ya, aku yang salah."

Saya kembali bercermin. Apakah nanti ketika saya mempunyai anak, saya tidak bisa memegang anak saya? Apakah saya tidak bisa mendiamkan anak saya? Apakah harus, mesti, wajib ibunya yang bisa menimang anak?

Di sini, saya sebagai laki-laki, kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas bahtera ini harus bisa memainkan peran. Sebab kondisi yang digambarkan pada adegan tersebut, biar bagaimanapun Sakti adalah anak Mamet, saya, dan kita (Hah Kita? Iya, kita. Laki-laki yang selalu punya hasrat untuk bikin anak) para ayah. Apa pun yang terjadi harus dengan kesadaran dan open mind untuk memerankan layaknya sang ibu. Bukankah itu anak kita?

Penonton disuguhkan sebuah gambaran nyata yang tidak bisa dilihat di twitter, facebook, terlebih lagi instagram. Tapi kan ini cuma film? Ya, betul, memang ini film. Film yang merefleksikan pada kehidupan nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline