Minggu sore yang cerah, saya melangkahkan kaki menuju Java School Cafe, tepatnya berada di Jalan Kebon Sereh Barat 24, Pisangan Baru Timur, Jatinegara. Sebuah kafe yang menjadi tempat berlangsungnya nonton bareng film "Asimetris".
"Asimetris" adalah film kesembilan dari hasil perjalanan Ekspedisi Biru Indonesia setelah film "Samin vs Semen", "Kala Benoa", "The Mahuzes", dan dan lima film lainnya yang juga diproduksi oleh Watchdoc.
"Asimetris" menyorot dampak industri perkebunan penghasil devisa terbesar, yakni 239 triliun. Sebagaimana data BPS, sawit adalah penghasil devisa nomor 1 dari 10 devisa terbesar Indonesia. Namun ada hal-hal yang tidak tersorot oleh kamera media arus utama yaitu luka rakyat. Petani sawit itu sendiri.
Jokowi bilang, "Kalau pengusaha bisa 8 ton, petani juga harus bisa 8 ton. Jangan Cuma 2 ton."
Petani sawit bilang, "Modalnya dari mana bisa 8 ton, buat makan aja susah. Bisa si buat makan tapi ya seadanya."
Betapa tersentuh hati saya ketika seorang presiden pilihan rakyat tidak bisa memahami apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Memang penghasilan ekspor kelapa sawit bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Tapi siapa yang disejahterakan dari keuntungan ekspor sawit terbesar di dunia ini?
Tentu saja bukan para petani sawit yang berjuang keras itu. Melainkan 15 orang pengusaha sawit yang merupakan orang-orang terkaya di Indonesia.
Apa produk kelapa sawit yang menghasilkan devisa besar bagi negeri ini? Dan apa dampaknya buat masyarakat?
Banyak yang dihasilkan dari produk kelapa sawit yang secara tidak sadar sudah menjadi kebutuhan kita sehari-hari. Mulai dari biofuel, sampo, sabun, minyak goreng, dan lainnya. Kita masyarakat kota begitu menikmati semua hasil dari produk kelapa sawit.
Tanpa kita ketahui ada luka pada masyarakat yang tinggal di dekat kawasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit akibat dampak dari produksi minyak kelapa sawit. Tanah mereka direbut, sungai mereka dicemari oleh limbah pabrik, hutan mereka yang menjadi sumber kehidupan dibakar, menghasilkan kabut asap yang berbahaya bagi kesehatan, dan kerugian-kerugian lainnya.
Pernakah kita yang tinggal di Jakarta membayangkan tinggal di daerah seperti itu?