Pagi itu alarm berdering kencang menunjukan pukul 04.45 WIB. Saya yang masih tertidur pulas dalam pelukan sang istripun terbangun. "Kak... Bangun. Udah subhu, subhuan yuk". Ucap istri saya yang bernama Meita Eryanti.
Sehabis menunaikan solat subhu, kamipun disibukan dengan pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci piring, mencuci beras untuk dimasak, mencuci pakaian, merapihkan tempat tidur, menyapu hingga mengepel lantaipun kami kerjakan secepat mungkin pasalnya saya harus segera bergegas mandi, sarapan dan berangkat bekerja tepat di pukul 06.00 WIB. Dalam prinsip pernikahan kami pekerjaan rumah bukanlah pekerjaan wajib yang hanya dilakukan oleh seorang istri. Sayapun dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab harus turut serta membantu pekerjaan rumah yang belum selesai.
17 Oktober 2017 tepat satu bulan saya menjadi suami dari Meita Eryanti. Banyak hal baru yang kami temukan dalam satu atap ini. Mulai dari masalah yang remeh temeh, hingga masalah yang begitu berarti buat kami. Masalah yang menjadi bahan pelajaran dan pengalaman hidup buat kami.
Setiap manusia pasti selalu mendambakan pernikahan yang harmonis, membahagaikan, tenang dan damai itu indah. Saya pun berharap demikian. Tapi semua itu sirna, saya baru mengalami yang namanya konflik dalam rumah tangga. Baik besar kecilnya pasti ada. Tidak selalu tiba-tiba menjadi api besar, justru api besarlah berawal dari hal-hal kecil yang menjadi panas lalu menimbulkan percikan emosi misalnya: Tupperware ketinggalan di meja kantor.
Apa? Tupperware? Yap, tul... botol plastik yang bernama Tupperware itu bukanlah barang biasa di mata istri saya. Botol atau tempat makanan plastik itu di mata istri saya bagaikan harta yang paling berharga dari harta lainnya. Bagi saya pribadi harga Tupperware tergolong mahal, dan sampai beberapa penjualnyapun menawarkan kredit untuk bisa memiliki barang tersebut, jadi bisa dibayangkan dong jika Tupperware kesayangan istri saya yang saya anggap barang plastik biasa itu tertinggal apa lagi sampai hilang. Sepele sih tapi Inilah realita rumah tangga.
Satu bulan menjadi suami dari wanita manis asal Yogyakarta ini membuat saya semalaman ini merenung. Betapa egoisnya saya selama ini, betapa tidak pengertiannya saya selama ini, betapa keras kepalanya saya ini. Namun si wanita manis ini tetap tunduk dalam pengabdian kepada suami yang super keras kepala ini, tetap melayaninya dengan hormat, tetap menyanjungnya dengan sepenuh hati. Canda, tawa, tangis, senang,sedih semua tercurahkan dari diri yang paling egois ini.
Saya merasa betapa beruntungnya memiliki seorang Meita Eryanti yang begitu kuat menerima dan menghadapi keadaan saya yang apa adanya ini. Sejenak saya mengucap janji dalam bisiknya: "Maafin semuanya, aku banyak salah padamu, Janji, tidak akan terulang lagi dan tidak akan membuatmu menangis lagi".
Begitulah yang saya alami dalam usia pernikahan kita yang baru seumur jagung ini. Menikah itu bukanlah langkah sembarangan, kami harus siap mengarungi samudera yang luas, yang kami tidak tahu ada badai apa di depan sana yang akan menerjang kami, kami harus siap mengarungi samudera yang luas tidak dengan sebuah bahtera, namun dengan sampan kecil dengan kehidupan yang apa adanya.
Seorang psikolog pernah menasihati kami "Menikah itu layaknya naik Roller Coaster, sekali naik begitu Roller Coaster jalan kita tidak akan bisa turun lagi, mau menangis, mau tertawa, mau sedih, mau marah, mau muntah sekalipun kita tidak akan bisa turun. Terus jalani dan berada di Roller Coaster itu dan ingatlah yang baik-baik dari pasangan kalian untuk tetap terus bisa berada di Roller Coaster ini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H