BECAK, merupakan alat transportasi tradisional yang belakangan banyak menghiasi media baik cetak elektronik maupun media online. Becak tiba-tiba menjadi bahan perbincangan masyarakat luas, di kantor pemerintahan, di kelas, di forum-forum, dan di warung-warung kopi bahkan di angkringan.
Saya sendiri sebenarnya tidak mau mempedulikan isu becak yang terus menggelinding bak bola liar yang menerjang kemana-mana. Selain tidak ada kepentingannya dengan saya, saya lah hanya sebuah sampah tak berguna yang berada di pinggiran Kota Semarang.
Sedangkan sang peletup Becak adalah Anies Baswedan, seorang Gubernur Ibukota Negara yang juga tergolong kalangan akademisi yang jago beretorika, berteori, dan pandai ngeles masyarakat.
Sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta dan berbekal wawasan yang luas, tentu Anies memiliki kecakapan dalam menata dan mengatur daerah yang menjadi wilayah administasinya. Termasuk kebijakan akan "menghidupkan" lagi Becak di Jakarta.
Namun kok saya geregetan juga dengan isu Becak ini. Bukannya apa -- apa, Becak itu alat transportasi yang mengasyikkan, dia tidak punya akal, jadi jangan disalahkan, jangan dijadikan alat untuk nyerang sana sini, jangan dijadikan komoditas politik dan jangan jadi komoditas perdebatan yang tidak produktif.
Kalau tidak percaya, coba tengok saja. Sekarang banyak orang dari kalangan kita sendiri saat menghabiskan akhir pekan berlibur ke suatu daerah, dan lebih memilih menikmati Becak untuk sekedar muter -- muter kota. Di Solo misalnya, masih banyak dijumpai Becak disana, dan Becak menjadi pilihan wisatawan untuk menikmati suasana kota. Di kota lain yang masih ada transportasi becak, sepertinya juga menjadi pilihan wisatawan untuk sekedar berkeliling-keliling menikmati suasana kota.
Yaa, ditengah modernitas transportasi dan maraknya transportasi online seperti sekarang ini, Becak menjadi pilihan transportasi yang menyenangkan bagi sebagian orang, seperti wisatawan. Manfaatnya masih ada, jadi ya biar saja becak hidup ditengah hiruk pikuk kota.
Sebelum panjang lebar, saya tegaskan dulu bahwa posisi saya tidak pada mendukung atau tidak mendukung kebijakan Anies Baswedan tentang Becak di DKI Jakarta. Pun juga tidak dalam kapasitas dukung mendukung dalam konstelasi politik Becak di DKI Jakarta.
Saya hanya sekedar memberikan gambaran tentang fenomena sosial masyarakat seiring dengan perkembangan budayanya, terutama masyarakat di perkotaan seperti DKI Jakarta.
Banyak orang mungkin sudah sangat paham, apalagi Anies Baswedan, saya jamin mengerti betul istilah Postmodernisme. Modernisme dan postmodernisme itu adalah siklus yang tidak perlu disalahkan, sama seperti setelah siang kemudian malam, biar saja.
Dalam ilmu filsafat dari berbagai referensi buku, istilah post-modernisme secara harfiah berarti sesudah modernisme atau disebut pula dengan pasca-modernisme. Istilah ini sudah demikian populer dalam dunia perguruan tinggi di Indonesia selama lima tahun terakhir.