Lihat ke Halaman Asli

"WhatsApp Journalism"

Diperbarui: 29 Januari 2018   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

MELIHAT judul tulisan ini yang ditangkap mungkin kegiatan jurnalistik yang bertumpu pada WA, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Terus apakah memang ada aliran jurnalistik WA, kalau ada siapa pencetusnya dan bagaimana nilai - nilai yang terkandung dalam jurnalistik WA tersebut.

Sebenarnya saya tidak ingin memberikan label WhatsApp Journalism dalam dunia jurnalistik. Saya hanya merasa miris dan prihatin saja dengan kondisi praktik jurnalistik yang dilakukan para jurnalis belakangan ini.

Saya bahkan sering merasa canggung dan merasa aneh sendiri ketika dalam menjalankan wawancara saat peliputan memegang bulpen dan blocknote sendiri. Sementara yang lain, semua memegang ponsel atau handphone dengan kesibukan jari tangannya atau sekedar menyodorkan ponsel ke sepatu nara sumber untuk merekam hasil wawancaranya.

Diseberang lainnya, tidak sedikit yang sibuk sendiri dengan ponselnya tanpa bertemu nara sumber, karena berita sudah datang sendiri lewat email maupun WA di ponselnya. Dalam hitungan menit, berita sudah jadi dan tinggal dikirim ke redaksinya.

Teknologi yang serba canggih melalui aplikasi - aplikasi yang memanjakan jurnalis membuat semua pekerjaan jurnalistik menjadi sangat mudah. Apalagi belakangan banyak instansi atau perusahaan yang sudah memiliki humas atau PR yang pandai membuat rilis.

Ada juga jurnalis yang malas hanya menunggu kiriman karya jurnalistik dari rekan yang sudah jadi dan tinggal dirubah - rubah sedikit saja. 

Jujur saya seperti tidak rela profesi jurnalis yang luluh lantak kehilangan marwahnya, kehilangan jatidirinya, dan terkesan terlacurkan. Dalam situasi seperti ini saya jadi teringat seorang tokoh pers, sekaligus akademisi yang menggawangi Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gajah Mada Yogyakarta. 

Dialah Ashadi Siregar yang dikenal dalam bukunya, Sang Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru. Bang Hadi begitu sapaan akrabnya sudah banyak melahirkan jurnalis handal di negeri ini. Sosok Ashadi yang sudah pensiun sebagai dosen di UGM pada 2010 ini dikenal kalangan luas sebagai penjaga akal sehat pers Indonesia.

Lalu dimana lembaga - lembaga yang mewadahi jurnalis, yang seharusnya juga ikut menjaga martabat dan harga diri pers umumnya, khususnya jurnalis. Apakah mereka tertidur selama ini, tentu tidak. Banyak pula action - action yang dilakukan lembaga lembaga tersebut yang juga membawa kebaikan dunia jurnalistik.

Teknologi memang tidak bisa dibendung, tapi kan bukan berarti tidak bisa dikendalikan. Kita semua tahulah bahwa teknologi seperti sebuah pisau yang bisa digunakan untuk kebaikan dan bisa juga untuk kejahatan. Tinggal bagaimana kita mengelolanya, bagaimana kita menyikapinya, bagaimana kita memanfaatkannya

Dalam berbagai forum baik itu pelatihan, workshop atau apapun namanya tentang jurnalistik, hampir semuanya memberikan arahan yang sama. Semua menyampaikan hal yang sama terkait prinsip kegiatan jurnalistik, seperti halnya yang disampaikan Bill Kovach dalam sembilan elemen jurnalisme, salah satunya jurnalis harus mengacu pada panggilan hati nuraninya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline