Film dokumenter ini meninggalkan banyak lubang pertanyaan yang menganga; "benarkah ini terjadi?", "Sebegitu kejamkah industri tambang dan PLTU kita?", "Apa yang ada dibalik pikiran para elit-elit politik yang terhormat tersebut?".
Segelintir pertanyaan tersebut berujung dan dibungkus dengan narasi yang cukup sempit oleh banyak orang; Pilpres dan propaganda untuk Golput. Momentum yang diambil oleh Watchdoc selaku publisher memang cukup genit dan usil.
Memasuki masa tenang Pilpres 2019 film dokumenter yang menunjukkan keterlibatan kedua paslon dalam pusaran tambang dan PLTU memberikan sebuah keraguan tersendiri pada orang-orang yang tadinya sudah hampir tidak jadi Golput.
Beragam kontra-narasi muncul; mulai dari tiadanya Cover both sides film dokumenter tersebut terhadap manfaat PLTU dan PLTU-PLTU yang tidak memberikan kerugian besar untuk lingkungan, munculnya pertanyaan tentang siapa penyokong dana dan pengampu kepentingan dari keseluruhan ekspedisi dan investigasi film dokumenter ini hingga abduksi sebagian pendukung kedua paslon presiden bahwa dokumenter ini dilansirkan semata-mata demi meningkatkan jumlah Golput di Pemilu yang sudah kita lalui bersama ini.
Menjelang pemilu, narasi-narasi semacam itu memang sudah lumrah digaungkan. Namun, tampaknya ini yang diharapkan oleh pihak watchdoc, mendapatkan eksposure dan atensi baik dari pihak yang pro maupun kontra dan membiarkan diskusi berlanjut meski ada isu penting yang luput dari perhatian kita semua: kemanusiaan.
Publik sibuk berdebat tentang andil paslon mana yang lebih banyak (baca:buruk) terhadap kerusakan dan ketidakadilan yang dimunculkan dalam film tersebut. Konsep Lesser Evil masih digaung-gaungkan sebagai pembenaran bahwa 'junjungan' mereka masing-masing masih lebih baik dan manusiawi ketimbang pihak yang lain.
Kecenderungan 'membenarkan' dan tetap berpikiran Right or Wrong is my Junjungan menciptakan pola dukungan yang militan, fanatik, dan tanpa kompromi. Setiap fenomena dan wacana selalu dikaitkan dengan isu elektoral, yang hingga detik ini masih terasa sangat hingar-bingar dan semakin memuakkan.
Kembali ke masalah awal, banyak yang luput dari perhatian kita dari suguhan fakta dan narasi selama satu setengah jam dalam film 'Sexy Killers'. Framing yang dikeluarkan oleh Watchdoc berjalan dengan mulus dan diskursus terus bergulir hingga beberapa waktu setelah film ini ditayangkan ke publik.
Dituduh sebagai bagian propaganda Golput dan pihak tertentu, malah menghanyutkan watchdoc dan kawan-kawan ikut dalam arus diskursus tersebut. Lagi-lagi, data dan fakta perihal pelanggaran HAM dan ketidakdilan hanya menjadi 'etalase' bagi perdagangan isu tertentu.
Tangis mereka diperjualbelikan dan dipakai sebagai senjata utama untuk menyerang para taipan-taipan tersebut, tanpa sedikitpun kita memikirkan nasib mereka sekarang atau di masa mendatang kelak.
Media, sebagai pembentuk dan penggiring opini publik, justru memainkan peran yang sama banalnya. Nyaris semua media ikut dalam arus diskursus utama; perkara elektoral dan profil para taipan yang diantaranya terdapat nama Joko Widodo, Ma'ruf Amin, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Uno.