Lihat ke Halaman Asli

Rizki RamdaniHarahap

Tholibul 'ilmi, Mahasiswa

Jadilah Guru PAI yang Ikhlas

Diperbarui: 11 Agustus 2020   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Guru secara sederhana memiliki makna yaitu orang yang memiliki ilmu pengetahuan lalu mengajarkanya kepada anak didiknya. Semua guru ingin anak didiknya menjadi orang yang baik, berhasil, sukses, dan bermanfaat bagi agamanya, negaranya dan bangsanya. Tidak ada satupun pekerjaan atau profesi yang lebih mulia daripada perkerjaan sebagai guru ataupun pendidik. Tak terkecuali guru PAI atau yang biasa kita sebut dengan guru agama. 

Karena semakin tinggi dan bermanfaat ilmu pengetahuan yang diajarkan maka semakin tinggi dan mulia pula orang yang mengajarkannya. Menurut saya tugas guru PAI lebih berat dari guru umum atau guru mapel non agama. Selain memberikan ilmu pengetahuan, guru PAI mempunyai tugas menanamkan pemahaman tentang Islam secara komprehensif atau menyeluruh kepada anak didiknya agar mereka mengetahui dan memahami nilai-nilai Islam sekaligus mempunyai kesadaran yang dalam untuk mengamalkanya. 

Guru PAI juga bertugas menanamkan akhlaqul karimah kepada para peserta didiknya agar mereka dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendidikan akhlak ini dapat mengantarkan mereka menjadi insan yang semakin mengerti akan kedudukan dan tugasnya sebagai hamba dan khalifah di bumi. Dan yang terakhir guru PAI bertugas mengembangkan potensi anak didiknya agar memiliki pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, agamanya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pada dasarnya menjadi guru tidaklah mudah, selain harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas untuk dapat ditularkan ke anak didiknya. Seorang guru harus memiliki integritas, keteladanan, bersikap amanah, tanggung jawab dan senantiasa bersabar. Seorang guru PAI harus memiliki sifat Ikhlas dalam artian memiliki niat dan hati yang tulus serta ikhlas hanya karena Allah Ta’ala semata. 

Ikhlas secara sederhana bermakna menyaring sesuatu sampai tidak bisa bercampur dengan yang lainnya. Sedangkan dalam Syari’at Islam, ikhlas yaitu suci dan bersihnya niat, bersihnya hati dari kesyirikan dan sifat Riya’. Sehingga dengan Ikhlas, seseorang melakukan sesuatu semata-mata hanya menginginkan dan mendapatkan Ridha-Nya Allah baik dalam hal kepercayaan, perkataan dan perbuatan (Abu Farits, Tazkiyatunnafs, 2006).

Imam an-Nawawi mengungkapkan bahwa Ikhlas yaitu  membersihkan pancaindranya dengan lahir dan bathin dari segala sifat yang tercela. (Nawawi As-Syafi’i, Bahjatul Wasaail Bisyarhil Masaail). Imam al-Junaid, seorang ulama Tasawwuf dikutip oleh Al-Ghazali dalam “Mutiara Ihya ‘Ulumuddin” mengatakan bahwa Ikhlas adalah membersihkan perbuatan sari kotoran. 

Adapun menurut al-Imam Asy-Syahid, Ikhlas adalah sebuah sikap dan perilaku kejiwaan seorang muslim yang selalu berprinsip dan beranggapan bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah Ta’ala. 

Dapat disimpulkan bahwa Ikhlas adalah melakukan suatu perbuatan dengan niat yang benar tanpa ada pendorong untuk meraih duniawi, mengharapkan pujian dari manusia dan sebagainya sehingga semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dan untuk bertaqarrub kepada Allah. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari orang yang benar-benar memiliki rasa cinta kepada Allah.

Pada hakikatnya, ikhlas itu merupakan urusan hati, walaupun urusan hati, ikhlas bisa dilihat pula dari perilaku atau perbuatan seseorang. Namun sifat ikhlas akan terasa sulit dinilai jika ikhlas itu hanya pada lampiasan dari bibir atau mulut saja, "Saya ikhlas jadi guru. Percayalah tujuan saya ikhlas hanya ingin mengajar dan mendidik murid-murid." 

Benarkah rasa ikhlas bisa ditakar dan diukur lewat kata-kata saja? Ikhlas itu merupakan amalan hati, tidak perlu disebut atau diungkapkan dengan kata-kata. Bisa jadi saat seseorang mengatakan dirinya ikhlas, akan tetapi malah menunjukkan tanda ketidak ikhlasan akan dirinya. Karena keikhlasan tersimpan di lubuk hati yang terdalam. Maka dari itu hanya Allah Subhaanahu Wata’aala saja yang pasti mengetahui ikhlas atau tidaknya seseorang dalam beramal (QS at-Taghabun: 4).

Diantara buah hasil keikhlasan sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Audah al-‘Awasyiah dalam Keajaiban Ikhlas yaitu:

  • Mendapat kedudukan tinggi di akhirat
  • Dihindarkan dari kesulitan-kesulitan duniawi dan diselamtkan dari kesesatan di dunia
  • Ketentraman hati dan kebahagiaan
  • Orang yang Ikhlas akan diberi taufiq oleh Allah sehingga memiliki kesempatan berteman dan bersahabat dengan orang-orang yang ikhlas juga
  • Orang yang ikhlas diterima baik di muka bumi dan dicintai penduduk langit.
  • Akan ditolong oleh Allah sehingga sanggup memikul segala kesulitan hidup di dunia.
  • Doanya makbul dan mendapat husnul khatimah.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline