Lihat ke Halaman Asli

Jejak Langit (On Project)

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1. Prolog

Walau kaki berpijak di bumi

Tapi cintaku terpatri di langit

Melukis sebuah jejak

Tebarkan senyum untuk penghuni bumi

Saat beribu anak dalam dekap hangat sang bunda. Dia tertatih mengejar awan. Saat gelak tawa mereka pecah. Dia menyeka air mata. Tangisan langit. Mungkin hanya bilik hatinya yang rasa. Derai bulir bening di pelupuk matanya. Siapa yang peduli? Aah…toh deret waktu masih menganga. Mimpi masih dapat dirangkai. Melukis langit, memetik bintang, bercanda dengan bulan.

Bagi penyandang gelar ‘anak miskin’ mungkin hal terindah hanya bermimpi. Diam juga sebuah usaha. Usaha mengatur strategi agar langkah tertata. Siapa bilang anak kampung dilarang bermimpi selangit? Toh, Chairul Tanjung si anak singkong mampu menginspirasi banyak orang.

Kuliah adalah sebuah mimpi baginya. Kenapa mimpi? Kata orang tak mungkin dia bisa kuliah. Hanya satu yang orang-orang jadikan tolak ukur yaitu dia miskin. Alasan lain, kuliah butuh biaya yang sangat banyak. Hal itu cukup membuatnya berpikir seratus kali untuk maju. Antara mimpi dan fakta hidup yang bertolak belakang.

Tapi semangatnya tak surut. Tak lantas berhenti dengan cercaan, cemoohan, apalagi hinaan orang. “Akulah yang memegang kunci hidupku” begitu ia selalu berprinsip. “Tak satu orangpun bisa mengusik mimpiku,” pikirnya di satu kesempatan ketika ia bisa colong melamun di jam pelajaran.

Moza begitu namanya diberi kedua orangruanya. Dia terus saja menyimpan deret mimpinya itu di diary usang miliknya. Sampai-sampai kertas yang ditulis itu kusam dimakan usia. Kadang teman-temannya menertawakan. Sesekali mereka melihat bukunya selalu saja goresan penanya menulis “Aku harus kuliah”. Kalimat semacamnya bejibun memenuhi tiap lembar kosong bukunya.

Kelak, mimpi itu akan berbuah nyata. Walau kakinya berpijak di bumi, namun mimpinya melangit. Langit yang akan hadiahkan hujan. Sirami gersangnya sebuah harapan. Cinta, harapan, dan mimpi tumpah ruah dalam genggamnya.

(Ini hanya prolog dalam novel yg sedang saya kerjakan, doakan saja agar cepat penyelesaiannya, aamiin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline