Lihat ke Halaman Asli

Alkautsar HolzianAkbar

Mahasiswa/Sosiologi/Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Polemik Berbahasa dan Identitas budaya: Apa Hanya karena Cative Mind?

Diperbarui: 21 September 2024   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

mediaindonesia.com

Globalisasi membuat segala perkembangan dan perubahan terasa begitu cepat. Saking cepatnya, masyarakat terkadang tidak menyadari kapan sebuah perubahan telah terjadi di tengah kehidupan mereka. Begitu juga dengan ketidak-sadaran dalam mengikuti gaya hidup yang ditawarkan budaya populer.

Salah satu bentuk budaya populer yang diperkenalkan di era globalisasi ini adalah fenomena Indoengglish. Indoenglish merupakan budaya berbahasa yang mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Budaya berbahasa seperti ini terbilang cukup masif di tengah masyarakat kota. Hal tersebut dapat dilihat dari penulisan menu di kafe atau restoran saat ini, misalkan menuliskan "Ayam Goreng" dengan "Fried Chicken".

Indoenglish bahkan semakin diperkuat dengan adanya fasilitas media sosial yang menjadi alat pendukung globalisasi. Di era penggunaan media sosial yang semakin masif, Praktik berbahasa seperti ini bahkan membetot kesadaran masyarakat dengan sensasinya yang diperkuat oleh stimulus dari konten-konten media.

Trend Indoenglish mengundang banyak respon, baik dari Akademisi, seniman bahkan pemerintah. Sampai-sampai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menghimbau untuk menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar. Termasuk juga dosen saya, Bernando J Sujibto (pak Bje), yang mengkritik trend ini melalui esainya berjudul: "Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan". Esai ini saya kira cukup menarik untuk dibahas.

Esai ini membahas sedikit banyak fenomena Indoengglish yang dideskripsikan di atas. Menurut esai ini, Praktik Indoenglish dikatakan membetot kesadaran masyarakat dengan penggunaannya yang masif di media sosial. Hal ini secara tidak langsung akan mendisrupsi bahasa dan identitas lokal yang kemudian akan berefek terhadap kemajuan budaya lokal.

Saya sepakat dan mengkonfirmasi hal tersebut. Menurut Francis Fukuyama, Era globalisasi ini adalah era disrupsi. Jadi, di era disrupsi walaupun perubahan terjadi begitu cepat, perubahan itu berwajah ganda, yaitu gangguan dan inovasi. Interkoneksi yang kuat dengan adanya media, di satu sisi menawarkan pertukaran ilmu pengetahuan yang terkadang tidak didapat dari pengetahuan lokal. Namun, perubahan sosial budaya akibat media sosial cukup memberikan gangguan pada kebudayaan lokal. Perubahan pola interaksi misalnya, berubahnya pola interaksi dalam bentuk berbahasa mempengaruhi kemampuan individu dalam mengembangkan bahasanya sendiri. Sedangkan perkembangan budaya lokal sangat bergantung pada kreatifitas berbahasa individu. (Fukuyama, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, 1995)

Di esai yang ditulis pak Bje, Saya tertarik terhadap pembahasan Cative mind. Praktik Indoenglish dianalisis sebagai akibat dari Cative Mind, yakni pikiran jumud karena perasaan inferior terhadap budaya asing. Perasaan inferior ini disebabkan oleh kondisi Pasca-Kolonial yang diiringi dengan dominasi keilmuan dan produk budaya dari barat. Perasaan ini pula yang menggiring masyarakat merasa kurang "keren" kalo tidak ada campuran bahasa asing.

Istilah Cative Mind masih terdengar baru bagi saya. Esai ini memperkenalkan syndrom Cative Mind yang secara pengertian kurang lebih sempat saya baca di buku-buku. Meskipun saya baru mengenal istilah tersebut, syndrom ini sering kali dibahas oleh studi Pasca-Kolonial. Amartya Senn menyebut syndrom seperti ini dengan Dialektika Kaum Terjajah. Sedangkan Edward Said menyebut budaya asing yang diagung-agungkan sebagai the Big Other.

Namun, terlepas dari review di atas, saya berpendapat bahwa menganalisis era disrupsi dengan Cative Mind kurang tepat rasanya, Mengingat kompleksitas situasi yang dihadapi oleh budaya kita saat ini. Cative Mind mengandaikan perasaan inferior terhadap budaya sendiri dan anggapan bahwa budaya asing itu superior. Pertanyaannya: kenapa perasaan tersebut tumbuh? Kenapa budaya sendiri dianggap ketinggalan dan budaya asing terlihat mempesona?

Bagi saya, baik itu fenomena Indoenglish atau fenomena berbahasa lainya, tidak sesimpel terjadi karena Cative Mind. Fenomena ini juga berkaitan erat dengan konsumsi terhadap produk-produk budaya asing yang masif didistribusikan. Budaya asing berhasil mengembangkan produksinya melalui banyak instrumen, baik itu pendidikan dan industri hiburan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline