Lihat ke Halaman Asli

Refleksi: Perasa yang Merasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Refleksi: Perasa yang Merasa

Sesekali perjalanan kita terkadang melelehkan, itu terbukti saat semuanya terasa sulit. Bagi ku, hidup seuntaian senyuman yang harus tetap ada sekalipun orang tak pernah membalas senyuman kita. Di tempat yang kecil bertaburan sampah-sampah kecil, aku mencoba sedikit memaknai arti pentingnya persahabatan. Kita bisa memberi kepada kawan kita saat mereka membutuhkan, itu kah yang dinamakan sahabat? Atau yang sering kebanyakan orang katakana “sahabat yang baik adalah sahabat yang mau mengerti kita apa adanya” memang benar, begitulah adanya. Bagi kita yang mau mengurai kembali makna senda gurau dengan teman terdekat. Malam saat ini, sudah menampakan rasa resahnya itu disebabkan oleh orang-orang yang memanfaatkan malam dengan pekerjaan sia-sia.

Kebiasaan ku saat diruangan terkecil hanya melihat barisan kata-kata di setiap buku yang ku pegang. Ya… begitulah adanya jika seorang mahasiswa, tidak punya uang untuk membeli sesuap nasi. Semuanya tertawa saat aku datang pada kawan-kawanku di tetangga kamar, sebut saja namanaya Fuad (nama asli yang disamarkan) orang ini selalu tertawa saat kata-kata mulai menggelitik dirinya. Padahal disatu sisi aku hanya seorang diri yang kesepian akan perhatian kawanku sendiri. Sempat ku bartanya pada lamunanku, kenapa aku mesti memiliki keadaan yang serba kekurangan ini. Tapi, aku takut andaikata lamunanku diteruskan, nanti disebut orang yang tidak mensyukuri hidup. Memang syukur itu harus menerima hidup apa adanya? Atau berterima kasih saat kita ingin makan tiba-tiba ada yang memberi, atau saat kita ingin meroko kawan kita membero puntung roko yang masih panjang? Sudahlah, akau juga bingung mengartikan syukur. Entah dimulai oleh ucapan atau dimulai dari perbuatan, jangan-jangan keduanya harus berbarengan.

Segumpal nasi yang menjadi perantara Tuhan untuk memberiku kekuatan, sudah ku nikmati bersama kawan-kawanku sependeritaan. Tentunya penderitaan kami penderitaan yang menyehatkaan. Nah mungkin sang pembaca akan bertanya apa penderitaan yang menyehatkan? Memang, setiap kita menderita terkadang kita hanya mengeluh pada orang lain. Jika kita tahu, derita kita bisa nikmat jika kita mensyukuri apa yang menimpa kita. Jadi curhatan keperihatainan ini bisa manfaat jika kamu sebagai pembaca, mengambil nilai-nilai moral yang terdapat di dalamnya. Dalam coretan ini penulis menggunakan kata “aku” kata “aku” dalam tulisan ini bukan berfungsi bukan sebagai individu, tetapi berfungsi sebagai “aku social” dalam artian mahluk yang harus peduli pada realitas sosial. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan bisa merubah dan menggugah keadaan diri kita saat kekecewaan melanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline