Lihat ke Halaman Asli

Sepasang Tawa di Mesjid Salman

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sepasang Tawa di Mesjid Salman

Bermula dari sebuah percakapan ringan, antara Aku dengan Sabil. Itulah kebiasaan yang kami lakukan setiap saat diskusi dan diskusi. Sebenarnya kehadiran tulisan ini, tidak ada bedanya dengan ana k kecil yang berbicara seorang diri pada mainannya. Ketika percakapan berlangsung aku jadi teringat tentang teori komunikasi bahwa sesungguhnya kita itu termasuk homo communicus (mahluk komunikasi). Sebenarnya, temanku yang satu ini tak pernah lelah ‘memukulku’ dengan nasehat-nasehat sepiritualnya, hingga saat ini pukulan ia bisa membekas dalam semangatku untuk terus menulis. Dalam mengawali untaian kata-kata ini, aku ingin agar semua pembaca tidak melihat cerita ini dari unsur apapun, karena aku bukan orang yang pintar melukis kata-kata. “Rofbesok antar saya ke Mesjid Salman ITB kebagian kajian dan penerbitan, yah” itulah yang dilontarakan Sabil saat dirinya dituntut untuk menghadiri acara di Mesjid Salman.

Saat dia mengajak ku, tentunya rasa semangat singgah di pikiranku, sebab bagi ku tidak banyak orang yang bisa bergaul dengan anak-anak Salman, “siap bos” jawab ku dengan senyum alakadarnya. Kata ‘bos’ sebenarnya bukan kata yang orang-orang biasa pakai, saat menghormati atasannya, namun bagi kami sebagai simbol komunitas ucapan ‘bos’ selalu dilontarkan kesiapa saja tanpa pandang umur. Sabil bagiku segelintir orang yang penuh semangat dalam keterbatasanya, kesederhanaan dia lebih mencerminkan sosok intelektual yang perlu didekati oleh para akademis, khususnya di tempat aku tinggal. Tepat jam dua belas hari kamis Aku dan dia bergegas untuk pergi ke Mesjid Salman, “mau makan dulu Rof“ kata Sabil, sambil pergi meninggalkan ruangan kumuh tempat kami berdiskusi, ya.. walaupun kumuh tempat, bagiku dan kawan-kawan tempat yang kumuh selalu terlahir insfirasi cemerlang. Sebenarnya ucapan Sabil tadi sudah ditunggu-tunggu oleh perutku yang sedari pagi tak pernah diisi sesuap nasipun, dia bergegas mendekati warung sebelah yang selalu jadi tempat favorit kami.Warungnya memang sederhana, namun dari kesederhanaannya ada senyuman yang luar biasa saat para pengunjung tiba.

Aku pikir dari tukang warung kita bisa melihat kepribadian seseorang, selain itu juga si Ibu warung tak pernah bosan sekalipun kami belanja, padahal ia sedang tidur. Aku kira Sabil akan membawa makanan (nasi) untuk mengganjal perut selama dalam perjalanan nanti menuju ke Mesjid Salman, namun setelah datang dari warung, aku hanya bisa tertawaterbahak-bahak, ternyata makanan menurut dia bukan apa yang biasa kita makan, tapi bakwan yang dibawa alias bala-bala kalau orang sunda bilang. Dengan berbagai rasa aku berangkat bareng menuju sebuah kampus yang orang-orang bilang kampus ITB adalah kampus nomer kesekian yang terbilang bagus dan mahal, “ kita naik apa? Kataku sambil membetulkan tas berisi pakaian seragam organisasi, “Angkot saja” kata dia sambil larak-lirikmelihat Susana, serta berharap hadirmya kendaraan di depan kami, “Caheum…caheum…caheum… Jang ” sebenarnya suara itu sudah kudengar sebelum kami berdiri di tepi jalan, sambil menghisap sebatang roko supir angkot itu mempersilahkan kami untuk masuk kedalam angkotnya. Aku tak tahu kenapa Sabil memilih Angkot tenimbang Damri, padahal Damri ber-AC dan kondekturnya sama ramahnya dengan angkot yang ku tunggangi.

Sederhana memang apa yang dia katakan “ kenyamanan itu hanya akan membuat kita terlena “ Oh..mungkin itu alasan dia memilih angkot, Selama di dalam angkot penghuninya hanya tiga orang: Aku, Sabil, dan satu orang wanita yang menutup muka, karena merasa pengap dengan asap rokok yang ku nikmati “ Jangan meroko ada undang-undangnya loh “ kata Sabil sembari mematikan roko dengan sendalnya yang belel, aku tahu sandal itu yang selalu hilir-mudik tergantung siapa yang memakainya, sandal yang ia pakai adalah sandal yang selalu ada ditempat kami, entah darimana sandal itu asalnya yang jelas sandal itu kadang ada, kadang juga tidak ada. Ternyata nilai mistik bukan hanya digunakan oleh manusia tapi sendalpun bisa mengandung nilai mistik ( mudah-mudahan salah ) “ oh tapi Bil sekarang banyak orang tahu tapi tidak menyadari bahwa dirinya orang yang tahu contohnya ngeroko itu sudah tahu bahaya, tapi kenapa banyak orang yang masih ngeroko”.

Ah.. sudahlah pembahasan roko hanya akan berujung pada egoisme masing-masing. Dahinya dilinangi keringat, mungkin menandakan ia sudah banyak memikirkan tentang apa yang dia rasakan selama ini, Sabilbanyak menginformasikan ku dalam hal apapun. Baik tentang ekonomi, politik, sastra, agama, dan filsapat sekalipun. Aku percaya semua yang Ia katakan, karena kepercayaan juga bukan hanya kepada Allah semata tapi ada yang harus kita percayai yaitu ilmu yang biasanya disebut sebagai kepercayaan idofi (mempercayai selain Allah). Sampai sudah kami ditempat persinggahan yaitu terminal Caheum, Nah kami menaiki angkot yang kedua dengan penumpang yang agak banyak. Saat itu hujan mulai turun lambat-laun membasahi Bumi yang kupijak, mungkin Tuhan sayang pada ku, dengan situasi panas dalam angkot tiba-tiba menjadi sejuk hingga Sabil terbawa kantuk didalam angkot itu. tepat didepan ku duduk seorang laki-laki berpeci putih, ya bagi sebagian orang peci putih identik dengan orang-orang yang selalu dekat dengan nilai-nilai kebaikan dalam beragama. Aku hanya tertunduk sesekali kedua mataku tertutup, aku paham bahwa Sabil juga merasakan apa yang aku rasakan, karena waktu malam Ia habiskan untuk belajar dari kerajaan Yunani, dengan cara nonton film-film masa Yunani.

***

Masih dalam perjalanan menuju Masjid Salman, tepatnya angkot yang aku tunggangi pas melewati gedung sate, gedung ini mungkin tempat berbagai kebijakan hadir makanya wajar para demonstran berkecimung waktu aku melewati gedung itu dengan Sabil “ lihat teman kamu “ itulah kata yang diucapkan sabil untuk ku, aku tak tahu apa artinya yang jelas mungkin sabil masih melihat diriku dimasa lalu, saat aku masih aktif menjadi pendemo di jalan-jalan, berharap suara rakyat didengar, “ tapi itu dulu “ kataku sedikit membela ucapan ku sendiri, aku sadar pena lebih tajam dari pedangmakanya sekarang Aku dan sabil lebih konsen pada tulis-menulis di media masa maupun jejaring sosial. Mungkin karena kelihaianya dalam memahat kata, sehingga Sabil diundang oleh pegawai mesjid Salman. Kesekian kalinya kaki ku menginjakan di kampus ITB, ya walaupun hanya sebatas lewat. Aku dan Sabil seperti orang yang baru menemukan dunia baru dalam menuntut ilmu. “ Rof ternyata lelah juga menuju Salman “ aku tidak begitu menanggapi apa yang Sabil katakana karena mataku hanya terfokus pada satu titik yaitu atap Masjid Salman.

Sesampainya di masjid yang dituju, hiruk-pikuk orang orang membuatku gairah untuk tinggal lebih lama di sekitar masjid, sambil menyikut pinggangku sabil hanya berkata “Mestinya Mujahidin seperti ini” aku tahu keinginaan Sabil untuk membangun peradaban dengan melihat pada realitas yang ada, memang benar masjid sudah seharusnya menjadi pusat peradaban dan perkembangan diberbagai sector seperti, koprasi, super market, tempat diskusi, perpustakaan, ruang pemerintahan, dan masih banyak lagi instrument yang bisa kita buat di sekeliling masjid. Sambil menuju ruang pertemuan aku hanya membicarakan seputar Masjid dia juga menambahkan omonganya “Sejatinya masjid harus menjadi pusat kemajuan umat, begitu Rof“ mungkin pemikirannya ada kesamaan dengan orang-orang terdahulunya, tapi aku hanya manggut-manggut pertanda aku menerima perkataan dia.

Mataku memandang kesekeliling masjid, mulai dari kamar kecil, tempat sampah, pembuangan air, warung, dan masih banyak lagi tempat yang aku sendiri tidak tahu namanya, yang jelas selama mataku meleihat pemandangan, suasana masjid sangat bersih dan indah, Aku bangga ketika ada seorang petugas memakai seragam kerjanya, dia hanya membereskan sandal saat orang-orang sedang shalat berjamaah. Rindang pepohonan seolah menebar keindahan di atas mesjid pantas saja kalau ada orang yang mengatkan “ jika tempat itu bersih maka ketenanganpun akan kamu miliki“ Sabil mulai menghubungi orang-orang yang dia kenal, sementara aku hanya penerima ide dan gagasan mereka-mereka. Canda tawa kami hanya untuk berdua, antara aku dan Sabil, selang beberapa menit akhirnya aku menemukan tempat yang dituju yaitu divisi kajian dan penerbitan mesjid salman. Percakapanpun saling menyapa antara aku,sabil dan penghuni ruangan, tanyaku dalam hati “tempat sekecil ini bisa membumingkan dunia mayantara”.

Aku mulai sadar kembali bahwa aku hanya terbuai pada angan-angan yang tak ada gunanya. Aku dan Sabil sebenarnya orang pertama yang masuk ruangan itu, karena sebelumnya kami berdua tidak pernah kenal yang namanya ruangan kajian Mesjid Salma. Rasa gerogi campur tegang menjadi satu layaknya permen nano ramai rasanya, aku sih santai-santai aja karena pembicaraan hanya tertuju antara sabil dan pegawai ruangan itu. Selang satu jam kami berdua meninggalkan ruangan untuk shalat asar, sejenak aku terdiam saat orang-orang membuka sepatu “ cepat kita ketinggalan imam” kata Sabil, akupun langsung menuju tempat wudu dengan dia. Mungkin dia tidak menyadari bahwa aku sempat heran pada petugas penjaga sandal“ko ada ya sandal dijagain sama petugas mesjid” aku hanya berbicara dengan diri ku sendiri, sebab kalau sabil tahu mungkin aku hanya jadi bahan ejekannya. Ketika aku shalat di belakangku berdiri petugas satpam yang mengwasi jalanya peribadatan, kebetulan aku dan Sabil telat dua rakaat dengan imam. kami bangun untuk melanjutkan rakaat yang ketinggalan, aku disebelah kiri dan Sabil disebelah kanan. Sebenarnya ada yang unik mengenai shalat kami dan itu kurang baik jika di ceritakan disini.

Pertemuan pun sudah berakhir dengan hati yang lega, tinggal bagian Sabil untuk menindak lanjuti obrolannya dengan Anak salman tadi. Kami duduk di pinggir jalan saat suasana mulai menampakan kesejukannya, aku pikir pantas sejuk uga karena wilayah kampus di kelilingi pepohonan yang rindang dan hijau. “Bu kopi kapal api dua” aku mualai menunggu kehadiran kopi yang sabil pesan untukku, bagiku kopi adalah minuman nutrisi untuk otak tidak peduli orang mau ngomong apa yang jelas, bagi kami kopi adalah penambah ide buat tulisan. Mungkin pembaca tak pernah menyadari bahwa kopi memiliki unsur semangat dalam beraktifitas, saat kita santai kopi jadi teman saat kita ngantuk kopi juga jadi teman setia, belumlagi saat kedinginan kopi selelu menghangatkan tubuh.

Aku mengajak kepada seluruh penikmat kopi hangat, jadilah kalian seperti air kopi yang menghangatkan tubuh. Saat ingatanku tentang kopi, Sabil hanya menikmati sebatang roko yang berada di tangan kanannya, mulanya harum setelah dipanaskan tetap harum itulah kopi. Lantas bagaimana dengan kita? Saat kita tidak punya permasalaha kita tetap bisa menjadi manfaat bagi orang laian, saat kita punya masalahpun kita harus tetap memberi manfaa bagi orang di sekitar kita. Itulah nilai-nilai kopi ditarik pada prilaku-ku dan Sabil. ”nanti kita pulang lewat mana Rof?” kadang aku kesel dengan sabil (kenyatannya nggak), dia lugu dan acuh dengan pendirianya. Padahal bagiku mestinya dia lebih agresip ketika menanykan arak jalan ke cibiru. Kamipun seusai minum kopi melanjutkan perjalanan, angkot yang pertama kali kami tunggangi adalah awal percakapan yang seru, lebih seru daripada melihat OVJ(Orang Valing Jail). Si bapak yang tua renta duduk didepanku ia tersenyum tanpa kata, menatapku seperti menatap anaknya sendiri aku hanya tersenyum sambil dipaksakan, si bapak lansia ini membwa Koran, terkadang untuk membaca korang dia menggaris bawahi koranya dengan pensil yang dibawanya. Aku pikir cara membaca Koran si kake ini perlu ditiru generasi muda yang melek pada bacaan.

Giginya yang ompong, membuat aku dan Sabil tersenyum malu “ neng ngantuk” kata si kake sambil menyentuh wanita cantik di samping kiri ku. Aku mulai merasakan keindahan mata saat melihat wanita disampingku, dia cantik dengan wajah yang putih,hidung yang mancung, belum lagi bibirnya yang membuat aku terlelap untuk pergi kealam mimpi bersamanya. Aku jadi membayangkan bahwa kindahan itu berada di balik mata tertutup. Buktinya saat kita membayangkan keindahan mata kita sering tertutup. Si kake mulai menyapa kami berdua “ jang dari mana?”si kake mulai akrab dengan kami, “dari ITB pak” jawabku.

Cerita demi cerita ternyata si Kake ini mantan pejuang 45, aku jadi terbawa suasana menggebu-gebu ketika Si Kake diskusi tentang riwayat hidupnya. Perasaan aku dan Sabil seolah angkot ini milik kami berdua, karena suasana yang jenuh seperti mengantarkan mayit, tiba-tiba jadi asik dan humor. Lama sudah kami dalam perjalanan, hingga saatnya senyum dan kenangan selam dalam perjalanan bisa kucurahkan dalam tulisan ini. Sedikit atau banyak nilai manfaat hanya milik diri masing-masing. Jelasnya, perjalanan hidup yang jauh bermula pada satu langkah dan semua itu akan mengandung nilai manakala kita ada keberanian untuk menceritakan kisah kita pada sebuah kertas. Sepasang tawa akan tercipta saat kita sudah bisa menghadapi, menghayati, dan menikmati perjalanan hidup ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline