Lihat ke Halaman Asli

Alkaf Prayoga

Mahasiswa Jurusan Komunikasi & Penyiaran Islam

Pendidikan Indonesia yang Tergadai

Diperbarui: 4 Agustus 2024   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaview

Tengah malam itu, di sudut kota Gorontalo, udara sangat dingin dan sunyi. Suara gerimis mengiringi sepi malam, menambah dinginnya suasana. Sebenarnya aku butuh sandaran malam ini, ya sandaran untuk menahan rasa ngantuk. Tapi Ega, penjaga warung kopi di Jalan Pandjaitan, dengan santai mengatakan, "Udah close order, Bro." Dengan berat hati, aku beranjak dari kursiku,sambil  memikirkan satu hal yang urgent dan tak kunjung selesai, apa itu ?? : nasib pendidikan anak bangsa. gue mau dikit nulis di bawah perihal apa yang melayang-layang di otak gue yaa. tanpa berlama lama lagi posisikan duduk kalian simetris,jangan membaca sambil guling nanti mata klen jadi rabun woyy....

Okee lek,mari torang mulai dari ketimpangannya dulu!

Ketimpangan dalam sistem pendidikan kita jelas terlihat. Dari fasilitas sekolah yang berbeda jauh antara daerah perkotaan dan pedesaan hingga kualitas guru yang sangat bervariasi. Bayangkan saja, di Jakarta anak-anak belajar menggunakan komputer canggih, sementara di pelosok Gorontalo masih banyak yang belajar dengan papan tulis yang sudah butut. Sialnya, kondisi ini bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal kesempatan yang tidak merata. makannya kalau kalian punya temen kerabat yang kerja bareng Pak Nadiem, tolong kasih baca tulisan ini yaa !!

Di Finlandia, anak-anak diberi fasilitas terbaik dan guru-guru mereka mendapatkan pelatihan yang sangat memadai. Mereka belajar dalam lingkungan yang mendukung dengan kurikulum yang terus diperbarui. Sementara di sini? Anak-anak di pedesaan bahkan mungkin tidak tahu apa itu internet. Gimana bisa bersaing di era global kalau sejak awal sudah ditinggalkan?

Tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara telah berjuang keras agar setiap anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Pada tahun 1922, beliau mendirikan Taman Siswa yang bertujuan untuk memberikan pendidikan yang merdeka dan tidak didikte oleh penjajah. Semangat juangnya patut kita teladani, tapi ironisnya, perjuangannya terasa masih belum usai.

Kita pindah di Kurikulum yang Tidak Relevan

Kurikulum kita? Ah, jangan ditanya. Masih banyak materi yang diajarkan yang sudah ketinggalan zaman. Anak-anak kita masih disuruh menghafal pelajaran yang nggak relevan dengan kebutuhan zaman sekarang. Sementara di negara-negara maju, kurikulum mereka selalu diperbarui agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan industri.

Di Singapura, misalnya, kurikulum mereka sudah mengintegrasikan coding dan teknologi sejak dini. Anak-anak diajarkan untuk berpikir kritis dan inovatif. Tapi di sini? Anak-anak masih disuruh menghafal rumus yang bahkan mungkin gurunya pun lupa fungsinya. Ini seperti belajar memperbaiki pager di era smartphone. Useless!

John Dewey, seorang filsuf pendidikan Amerika Serikat pada awal abad ke-20, mengemukakan bahwa pendidikan harus bersifat progresif, artinya pendidikan harus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Bayangkan Dewey datang ke Indonesia sekarang dan melihat anak-anak masih belajar hal yang sama seperti 30 tahun lalu. Mungkin dia akan bilang, "Serius, ini abad ke berapa?"

Minimnya Pendidikan Karakter Kita

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline