Lihat ke Halaman Asli

Fadilah Rahmatan Al Kafi

Independent Author

Indoktrinasi Dogma Homo Economicus: Jalan Tol Menuju Hancurnya Kemanusiaan

Diperbarui: 31 Maret 2024   05:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://michaelafricova.com

Oleh: Fadilah Rahmatan Al Kafi

Dunia pendidikan merupakan fondasi yang menentukan kemajuan peradaban manusia di masa yang akan datang, oleh karena itu penting bagi sistem pendidikan yang ada untuk menanamkan nilai dan karakter yang menjamin keberlanjutan dan cerahnya masa depan umat manusia. Sayang, saat ini dapat dilihat bahwa realita dunia pendidikan khususnya di Indonesia masih berfokus tentang bagaimana caranya mencetak sumber daya manusia yang memiliki keilmuan dan keterampilan teknis yang sesuai dengan pesanan pasar atau perusahaan-perusahaan besar belaka.

Seharusnya apabila merujuk pada gagasan Tan Malaka, esensi pendidikan ialah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan, demi terwujudnya manusia merdeka yang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik, bukannya menjadi kaum yang patuh, pasrah, dan dininabobokan oleh kesadaran palsu yang berakibat pada sikap masa bodoh, bahkan mendukung segala bentuk ketidakadilan struktural yang terjadi di masyarakat.

Aneh namun nyata, ketika golongan yang sebenarnya tertindas oleh struktur yang ada justru menjadi pihak yang memberikan dukungan kepada golongan yang menindasnya. Contoh sederhananya, ketika masyarakat luas banyak yang mencibir demonstrasi atau pemogokkan umum yang dilaksanakan oleh gerakan buruh yang menuntut haknya, padahal mayoritas dari si pencibir notabenenya juga merupakan buruh yang pastinya akan ikut merasakan dampak positif dari hasil perjuangan yang telah dilaksanakan.

Mustahil untuk disangkal bahwa fenomena tersebut merupakan akibat dari sistem pendidikan yang sekarang sedang berjalan. Sebuah sistem yang dirancang oleh golongan penguasa, yang secara cerdik memanfaatkan pendidikan guna menjaga status quo dan segala bentuk kekuasaan baik dalam bentuk politik, sosial, dan ekonomi yang mereka miliki. Salah satu wujud yang dapat dengan mudah dilihat ialah penanaman doktrin manusia sebagai Homo Economicus secara brutal yang diiringi dengan pengekangan terhadap kemampuan berpikir kritis.

Mengapa penanaman doktrin manusia sebagai Homo Economicus atau makhluk ekonomi merupakan kepada generasi muda merupakan sesuatu yang sangat bermasalah? Karena, gagasan tersebut mendukung pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang pragmatis, mementingkan dirinya sendiri, dan senantiasa harus mengejar keuntungan ekonomi subjektif sebesar mungkin demi terjaminnya kualitas hidup yang dimiliki. Menurut konsep tersebut, kepentingan pribadi wajib dijadikan sebagai motivasi utama manusia dalam melaksanakan kerja-kerja yang nyata, oleh karena itu kerja sama antar sesama umat manusia harus didasarkan pada kepentingan ekonomi pribadi.

Model Homo Economicus, menyebabkan banyak dari kita seringkali mengalami konflik batin antara tujuan ekonomi individu jangka pendek dengan rencana jangka panjang yang berkelanjutan, atau antara target ekonomi individu yang ingin diraih dengan nilai-nilai kebenaran maupun norma sosial yang berlaku di masyarakat. Motivasi luhur intristik yang alamiah pun musnah menjadi sekedar hanya demi imbalan, sebagaimana Bruno Frey memberikan contoh sederhana dengan, "Mendidik seorang anak melalui cara membayarnya untuk membantu keluarga atau agar dia mau beribadah ke gereja dapat mendorongnya untuk semangat melakukan penugasan yang diperoleh namun hanya untuk bayaran uang yang diberikan."

Akibat konkrit dari ditanamkannya nilai Homo Economicus dalam dunia pendidikan di Indonesia, berbuah pada budaya diam maupun ketidakpedulian masyarakat atau parahnya lagi pembelaan terhadap segala bentuk kejahatan struktural atau pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bahkan terjadi di sekitarnya, sebatas demi mengamankan diri dan keuntungan materiel pribadi. Tentunya, sikap seperti itulah yang memang diinginkan oleh para oligar dan mafia jahat di negeri ini guna menjaga stabilitas struktur sosial yang menguntungkan kepentingan dan dompet pribadi mereka. Selaras dengan pandangan Jane Thomson yakni, "Tidak ada proses pendidikan yang netral. Pendidikan dapat berfungsi sebagai instrumen yang digunakan untuk memfasilitasi integrasi generasi ke dalam logika sistem yang ada saat ini dan mewujudkan kesesuaian dengannya."

Dunia pendidikan di Indonesia termasuk seluruh ahli dan pegiat yang berkecimpung di dalamnya, oleh karena itu harus memperjuangkan, memikirkan, dan merancang kembali sistem pendidikan yang memerdekakan serta berpakem pada nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal. Baik pendidik maupun yang dididik wajib diposisikan sebagai subjek merdeka yang diarahkan untuk menjadi insan yang sesungguhnya, bukannya sebagai komoditas dalam bentuk modal dan stok tenaga kerja bagi para pengusaha besar belaka, karena jika yang berlaku adalah sebaliknya maka apa bedanya institusi pendidikan yang ada dengan pabrik penyedia barang konsumtif?

Mau sampai kapan spirit kolonial dalam dunia pendidikan di Indonesia kita pertahankan, mengapa penulis sampai berani menyatakan kolonial? Sebab menurut Ki Hajar Dewantara, "Pengajaran yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial hanya untuk dapat menjadi buruh karena memiliki ijazah, bukan untuk isi pendidikannya dan mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa raga, dan ujungnya pengajaran yang berjiwa kolonial itu hanya akan membawa kita untuk selalu bergantung pada bangsa Barat." Mari renungkan bersama kembali.....

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline