Tahun 1983, begitu lulus sekolah setingkat SMP di sebuah kota kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, saya langsung dikirim oleh orangtua saya ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan setingkat SMA. Di kota pelajar ini saya tinggal bersama di kos dengan para mahasiswa Universitas Gadjah Mada.
Saat itu saya mengagumi kakak-kakak mahasiswa tersebut. Hanya orang-orang pintar dan istimewa saja yang bisa merebut bangku kuliah di universitas bergengsi tersebut. Karena itu saya bertekad suatu saat saya harus bisa menjadi seperti mereka. Alhamdulillah, cita-cita saya terkabul. Setelah tiga tahun menjalani pendidikan setingkat SMA, saya akhirnya juga diterima menjadi mahasiswa UGM.
Saat itu, di kampung, saya adalah satu-satunya mahasiswa UGM. Status tersebut menjadi kebanggaan sekaligus beban bagi saya. Bangga, meskipun berasal dari keluarga biasa, saya bisa menembus kampus ternama tersebut. Menjadi beban, karena dengan status mahasiswa kadang-kadang tuntutan masyarakat terhadap saya menjadi sangat tinggi.
Bagi orang kampung, seorang mahasiswa adalah pasti seorang yang sangat pintar dan bisa membantu menyelesaikan berbagai problem kemasyarakatan.
Padahal saya sendiri sebagai seorang mahasiswa baru menyadari bahwa kemampuan saya masih nol. Dari segi wawasan, pemikiran dan sikap juga masih sangat dangkal. Terus terang, saya adalah pribadi yang cenderung introvert, pemalu dan kurang gaul.
Tetapi di luar itu, saya punya sedikit kelebihan yang juga diakui banyak orang, yaitu saya suka membaca. Apa saja saya baca, sambil makan, tidur atau melakukan berbagai aktivitas lain, saya selalu memegang bahan bacaan. Entah sobekan koran, majalah bekas atau buku-buku yang lain.
Kesukaan saya membaca inilah mungkin yang bisa membantu saya diterima di UGM. Karena itu ketika teman atau tetangga saya bertanya kepada saya bagaimana rahasianya bisa masuk universitas tersebut, maka biasanya saya menjawab kiatnya adalah harus belajar keras dengan banyak membaca.
Dengan sedikit kelebihan itu, saya ingin mengajak generasi muda di lingkungan saya untuk mulai menyukai membaca.
Sekali sebulan saya selalu pulang ke kampung di Temanggung. Setiap kali pulang saya biasanya membawa satu dua buku untuk anak-anak. Buku itu saya tinggal di rumah.
Kebetulan di rumah orangtua saya setiap harinya tidak kurang dari 30 anak mengaji. Mereka ternyata sangat menyukai buku-buku yang saya bawa tersebut. Tapi karena jumlah buku yang tersedia cuma sedikit, buku-buku tersebut sering mejadi bahan rebutan. Giliran satu anak dengan anak lainnya cukup lama. Mereka sering tidak sabar kapan dapat giliran membaca.
Melihat minat baca mereka yang cukup tinggi tersebut, saya akhirnya berembug dengan mereka untuk membuat sebuah perpustakaan kecil.