Saya adalah pelanggan Commuter Line (CL) selama 11 tahun, dari tahun 2004 hingga tahun 2015. Sejak September 2015 lalu, karena harus pindah tugas ke Bandung, saya jarang lagi naik CL. Sesekali masih naik juga, terutama saat mudik ke Depok di akhir pekan.
Karena itu, sedikit banyak saya juga tahu perkembangan CL atau yang waktu itu populer dengan sebutan KRL (Kereta Rel Listrik) dari tahun ke tahun. Termasuk merasakan langsung berbagai pengalaman yang tidak mengenakkan ketika menggunakan moda transportasi massal tersebut.
Sebelum tahun 2011, pengelolaan KRL terkesan sangat amburadul, baik dari sisi operasi, petugas maupun dari sisi penumpangnya sendiri, semuanya seolah-olah berlomba ingin menunjukkan sisi buruk pelayanan KRL.
Dari sisi operasi, karena menggunakan kereta lama, KRL sering tiba-tiba mogok di tengah jalan. Soal kenyamanan dan keamanan penumpang juga masih menjadi urusan nomor sekian. Hampir setiap minggu terdengar berita adanya penumpang yang jatuh dari KRL atau tersengat aliran listrik di atas gerbong.
Gerbong kereta selalu pengap dan sesak karena kelebihan kapasitas sehingga banyak penumpang yang naik atap. Para Copet juga bebas merajalela menjahili barang dan dompet penumpang. Rata-rata penumpang KRL punya pengalaman soal copet ini. Di dalam gerbong kereta sendiri yang sudah penuh sesak akan bertambah sesak dengan hilir mudik pedagang asongan, pengamen dan pengemis yang berusaha mengais rejeki di KRL.
Mungkin hanya penumpang kelas Ekspress saja yang bisa merasakan kenyamanan naik KRL. Saat itu, pelayanan KRL memang dibagi menjadi dua, kelas Ekonomi yang murah, meriah dan menyusahkan dan kelas Ekspress yang bertarif cukup mahal dengan gerbong AC dan hanya berhenti di beberapa stasiun tertentu saja.
Pengawasan terhadap penjualan tiket juga terlihat sangat lemah karena semuanya masih manual. Saya melihat banyak kebocoran pada penjualan karcis ini. Disinyalir banyak dijumpai karcis palsu, baik karcis sekali jalan maupun abunemen. Di sisi lain, juga ada oknum petugas nakal dari KRL yang menjual kembali karcis bekas.
Pihak manajemen KRL sendiri sebenarnya juga sudah berusaha untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Mulai dari penjagaan di pintu masuk, pemasangan palang pintu cowboy, pemasangan besi di stasiun, penyemprotan kepada penumpang di atas gerbong, penjagaan di pintu keluar dan banyak usaha lainnya. Tetapi pembenahan tersebut terlihat masih sporadis dan belum bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada.
Modernisasi CL
Pembenahan serius dan mendasar baru dilakukan pada tahun 2009 setelah PT KAI (Kereta Api Indonesia) membentuk anak perusahaan PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Proyek modernisasi KRL dimulai pada tahun 2011 dengan melakukan penyederhanaan rute menjadi 5 rute. Setelah itu dilakukan penghapusan KRL Ekspress, penerapan gerbong khusus untuk wanita dan mengubah KRL Ekonomi AC menjadi Commuter Line.
Proyek ini kemudian berlanjut dengan renovasi, penataan ulang, sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta dan stasiun kereta dan penempatan petugas keamanan di tiap gerbong. Pada bulan Juli 2013 KCJ melangkah lebih jauh lagi dengan menerapkan sistem elektronik COMMET (Commuter Electronic Ticketing) dan perubahan sistem tarif kereta.