Dalam rundown acara yang dikirim via email oleh panitia dari JNE tertulis bahwa salah satu acara pada hari pertama blogtrip Kompasiana–JNE tanggal 28 Nopember 2014 adalah outbond di Gua Pindul dan Sungai Oyo Tobing di Gunung Kidul, Yogyakarta. Saya sangat bergembira membaca rundown tersebut.
Dulu, sewaktu SD - SMP saya beberapa kali berwisata ke Gunung Kidul bersama rombongan sekolah. Tujuan utama wisata waktu itu yang populer adalah Pantai Baron dan Pantai Kukup, tujuan wisata lain belum banyak dikenal. Terakhir, saya pergi ke Gunung Kidul sekitar tahun 1990, atau kira-kira 24 tahun yang lalu.
Sejak sekitar tiga tahun belakangan ini, saya sering mendengar tempat-tempat wisata baru di daerah Gunung Kidul. Selain Gua Pindul dan Sungai Oyo, juga ada Sri Gethuk, Kali Suci, Gua Jomblang, Pantai Indrayanti, Pok Tunggal, Jogan dan Siung. Tempat-tempat tersebut, bahkan kini menjadi primadona baru wisata Gunung Kidul.
Gunung Kidul yang Ijo Royo-royo
Bus yang membawa rombongan kami, para Kompasianer, wartawan dari beberapa media dan panitia dari tim JNE berangkat dari Hotel Eastparc, Jalan Laksda Adi Sucipto km 6,5, Yogyakarta, pada jam 10.00 WIB. Kami semua sangat bersemangat berangkat menuju Gua Pindul dan Sungai Oyo.
Kota Wonosari yang ijo royo-royo
Kira-kira setengah jam kemudian, bus mulai memasuki wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Keadaan Gunung Kidul kini lain dengan keadaan 24 tahun silam. Dulu, kawasan ini dikenal sangat gersang dan sulit air. Kini, keadaan Gunung Kidul sudah banyak berubah. Sepanjang kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan pepohonan. Suasana ijo royo-royo kini menjadi ciri khas baru Gunung Kidul.
Bus kemudian memasuki kota Wonosari, ibukota Kabupaten Gunung Kidul. Perkembangan kota ini juga terlihat cukup maju, tidak kalah dengan kota-kota yang menjadi ibukota kabupaten di wilayah lainnya.
Menu makan siang di Rumah Makan Bu Tiwi
Tak lama kemudian berhenti di Rumah Makan Bu Tiwi Tan’tlogo yang terletak di jalan Wonosari-Semanu Km 3,5 pada jam 11.20 WIB. Di tempat tersebut telah disiapkan hidangan untuk kami di sebuah pendopo yang sangat nyaman. Menu yang disediakan adalah menu istimewa khas Gunung Kidul.Berupa nasi putih dan merah, tempe dan tahu goreng, ayam goreng, gudeg daun pepaya, sayur brongkos dan sayur tempe lombok ijo. Untuk dessert-nya tersedia dawet Gunung Kidul. Semua peserta lahap menyantapnya. Saya sendiri juga sempat menambah 2 potong tempe goreng. Habis enak banget sih.
Setelah diselingi dengan shalat jumat di masjid terdekat, perjalanan kemudian dilanjutkan menuju lokasi Gua Pindul.
Gua Pindul yang Eksotis
Setelah berjalan kira-kira 15 menit, bus kemudian berhenti di sebuah tempat yang luas dikelilingi pepohonan. Setelah mendapat briefing sebentar, masing-masing peserta diberi rompi dan sepatu untuk keperluan outbond. Kami kemudian berjalan kira-kira 200 m dan tiba di lokasi Gua Pindul.
Bersiap-siap menyusuri Gua Pindul
Mulai masuk ke mulut Gua Pindul
Ada bagian tengah Gua Pindul yang bagian atasnya terbuka
Obyek wisata berupa sungai di bawah gua ini diresmikan pada tanggal 10 Oktober 2010. Terletak di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul. Panjang gua ini 350 m dengan lebar sekitar 5 m. Jarak antara permukaan dengan atap gua4 m. Sedangkan kedalamannya mencapai 5-12 m.
Cara menyusuri gua ini dilakukan dengan menaiki ban pelampung. Masing-masing peserta memegang tali ban peserta lain, sehingga semuanya tersambung seperti sebuah rantai yang terjalin cukup panjang.
Lokasi gua ini cukup eksotis dan masih asli. Ada banyak mitos yang sering diceritakan oleh para pemandu di dalam Gua Pindul ini. Di dalam gua terdapat batu stalaktit yang menggantung di langit-langit gua yang bentuknya seperti alat kelamin pria. Mitosnya, apabila kita memegang batu tersebut, maka keperkasaan kita akan bertambah.
Mitos lainnya adalah tentang air mutiara yang selalu menetes ketika ada orang lewat. Mitosnya, jika pengunjung wanita membasuh muka dengan air tersebut, maka aura kecantikannya akan bertambah.
Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk menelusuri gua tersebut. Setelah keluar dari mulut gua, kami kemudian kembali ke base camp untuk melanjutkan outbond di sungai Oyo.
Rafting di Sungai Oyo
Untuk menuju Sungai Oyo, kami diangkut dengan mobil terbuka. Jarak antara kedua tempat tersebut cukup dekat. Kendaraan yang kami tumpangi hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit.
Mobil yang mengangkut kami dari Gua Pindul ke Sungai Oyo
Kini kami siap untuk melakukan rafting, bukan dengan perahu karet, tetapi dengan menggunakan ban seperti saat menelusuri Gua Pindul. Rafting dengan perahu karet hanya digunakan saat arus sungai mengalir deras yang biasanya jatuh pada musim penghujan.
Trek rafting di Sungai Oyo
Rafting bareng Admin Kompasiana, Mas Nurul dan Mas Derry
Kami naik ban satu per satu dan saling bergandengan seperti saat di Gua Pindul. Arus air di Sungai Oyo cukup tenang dan aman. Tidak perlu takut tergeret arus atau jatuh dari perahu seperti rafting menggunakan perahu karet seperti di Sungai Citarik Sukabumi.
Pemandangannya di sekitar Sungai Oyo juga cukup menarik dan memanjakan mata. Rafting di Sungai Oyo ini memakan waktu sekitar setengah jam
Pemberdayaan Masyarakat Lokal & Menjadi Tuan Rumah di Kampung Sendiri
Secara keseluruhan, saya betul-betul menikmati outbond kali ini. Yang lebih menggembirakan lagi adalah ketika saya mendengar bahwa pengelola dua kawasan tersebut adalah masyarakat setempat. Dari mulai pemandu, sopir, penyedia lahan parkir, penjual kerajinan dan makanan kecil, warung makan dan lain sebagainya.
Mereka terlihat cukup profesional mengelola dua obyek wisata tersebut dengan harga yang cukup murah terjangkau oleh masyarakat luas.
Tim pemandu dari Dewa Bejo cukup profesional menemani kami
Saya berharap keadaan seperti ini dapat terus dipertahankan. Jangan sampai ada investor besar mengambil alih pengelolaanya yang akhirnya hanya akan membuat masyarakat setempat menjadi penonton di kampung mereka sendiri. Mereka hanya akan menjadi buruh-buruh kecil dengan bayaran rendah, sementara sebagaian besar keuntungan jatuh kepada para investor tersebut.
Yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat saat ini, menurut saya, pemerintah daerah perlu terjun langsung melakukan berbagai perbaikan agar obyek wisata tersebut bisa dikelola dengan lebih baik. Antara lain dengan memperbaiki infrastruktur yang ada, standardisasi pengelolaan obyek wisata dan pembinaan kepada kelompok masyarakat yang mengelola obyek wisata tersebut.
Jika cara ini bisa dilakukan dengan baik, maka masyarakat setempat akan bisa langsung merasakan manfaatnya. Keadaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat secara otomatis juga akan terangkat. Anak-anak muda terdidik yang biasanya lari ke kota besar, akan tetap tinggal di desa untuk mengembangkan ekonomi kreatif, sejalan dengan kemajuan wisata yang ada.
Dengan cara ini maka masyarakat setempat akan menjadi tuan rumah bagi obyek-obyek wisata yang ada di kampung mereka sendiri. Untuk yang satu ini, kita harus banyak belajar pada JNE. Dengan modal kerja keras dan kepercayaan diri yang kuat, JNE berhasil membangun dirinya menjadi perusahaan yang sehat dan kuat.
Salah satu mimpi JNE yang ingin dicapai adalah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dan mimpi tersebut kini semakin mendekati kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H