Kegiatan hari pertama pada acara blogtrip JNE pada hari Jumat, tanggal 28 Nopember 2014, adalah melakukan outbond ke Gua Pindul dan Sungai Oyo di Gunung Kidul. Acara menyusuri Gua Pindul dan rafting di Sungai Oyo berjalan dengan seru. Semua peserta sangat menikmati outbond di tempat terbuka yang cukup indah dan eksotis tersebut.
Yang lebih menyenangkan lagi, ketika hendak meninggalkan Gunung Kidul, seluruh peserta mendapat satu dus oleh-oleh khas Gunung Kidul, yang berisi tiwul dan gatot Yu Tum, merk yang paling terkenal di Yogyakarta.
[caption id="attachment_357998" align="aligncenter" width="455" caption="Tiwul Yu Tum, yummy banget"][/caption]
Tiwul Yu Tum teksturnya sangat lembut, ditambah gula dan parutan kelapa, rasanya jadi sangat nikmat. Yu Tum merintis usaha ini dari berjualan gatot dan tiwul secara keliling. Kini usahanya terus berkembang. Pada tanggal 7 Desember 2013 Yu Tum telah meninggal dunia, kini usahanya dilanjutkan oleh anak-anaknya.
Di Gunung Kidul, dulunya tiwul merupakan makanan pokok pengganti beras. Tetapi kini tiwul telah naik derajatnya, tidak lagi menjadi makanan pokok tetapi telah menjadi makanan oleh-oleh untuk para wisatawan.
Cara membuat tiwul adalah dengan menjemur umbi ketela pohon hingga menjadi kering,gaplek kata orang setempat. Setelah itu gaplek ditumbuk hingga hancur dan lembut dan terakhir dikukus. Untuk menjaga kualitas dan rasa , Yu Tum masih menggunakan tungku tradisional berbahan bakar kayu .
Cara membuat gatot hampir sama dengan tiwul , setelah menjadi gaplek kemudian direndam dengan air kapur sirih selama 12 jam, setelah itu dicuci bersih lalu dipotong kecil-kecil dan direbus selama 2 jam. Untuk menikmatinya tinggal menambahkan gula pasir, serutan gula merah dan parutan kelapa.
***
Selain tiwul dan gatot, Gunung Kidul juga mempunyai kuliner lain yaitu belalang atau walang goreng. Walang goreng ini banyak dijajakan di berbagai tempat di Gunung Kidul, bahkan belalang mentah yang belum digoreng pun banyak dijual.
[caption id="attachment_358565" align="aligncenter" width="400" caption="Belalang goreng (Foto : kerupuk-belalang.blogspot.com)"]
[/caption]
Kuliner lain yang agak ekstrim adalah ungkrung dan ulat goreng. Ungkrung adalah ulat jati yang sudah berproses menjadi kepompong. Ukurannya sekitar 1 hingga 2 cm dengan warna coklat kehitaman. Sedangkan ulat jati berwarna hitam dengan panjang antara 2 higga 3 cm. Keduanya hanya dapat ditemui di awal musim hujan dan hanya setahun sekali.
Setelah digoreng, rasa ungkrung dan ulat katanya mirip dengan udang.
Sayang kemarin saya tidak dapat mencicipi walang, ungkrung dan ulat goreng ini. Mudah-mudahan pada kunjungan lain, saya punya kesempatan untuk mencicipinya.
***
Kuliner khas Gunung Kidul yang istimewa sudah saya lahap sebelum acara outbond di Gua Pindul dan Sungai Oyo dilaksanakan. Seluruh peserta blogtrip JNE yang terdiri dari para Kompasianer, wartawan dan panitia dari JNE diajak mampir ke Rumah Makan Bu Tiwi Tan’tlogo, yang terletak di Jalan Wonosari-Semanu, Wonosari, Gunung Kidul.
[caption id="attachment_357988" align="aligncenter" width="455" caption="Kami dijamu di rumah makan yang berbentuk joglo ini"]
[/caption]
[caption id="attachment_357989" align="aligncenter" width="455" caption="Para peserta mengambil makanan secara prasmanan"]
[/caption]
[caption id="attachment_357993" align="aligncenter" width="455" caption="Para kompasianer sedang menikmati makan siang bersama"]
[/caption]
Rumah makan ini berdiri di atas tanah seluas 1.000 m2. Menurut Pak Sunyoto, rumah makan yang berdiri sejak tahun 2010 ini banyak dikunjungi orang, termasuk para artis dan pejabat.
Harga menu di rumah makan tersebut relatif terjangkau. Dengan uang Rp. 8.000 kita sudah bisa minikmati nasi, tahu , tempe dan telur penyet. Sedangkan dengan harga tertinggi Rp 22.000 kita sudah menikmati empal atau ayam kampung komplit.
[caption id="attachment_357996" align="aligncenter" width="455" caption="Sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya yang saya ambil"]
[/caption]
Panitia JNE sangat tepat memilihkan menu makan siang untuk kami. Menunya sangat sederhana, tetapi cukup menggugah selera. Menu yang disajikan untuk kami pada siang itu adalah nasi putih dan merah, ayam goreng, tempe dan tahu goreng, gudeg daun pepaya serta sayur sambatan. Semuanya nikmat, saya sempat menambah tempe 2 potong.
Kalau menu tempe, tahu dan ayam goreng mungkin kita sudah biasa menyantap. Menu gudeg daun pepaya dan sayur sambatan mungkin agak jarang.
Menu sayur sambatan bahannya adalah tempe, cabe hijau dimasak dengan kuah santan. Kenapa di sebut sayur sambatan ? Menurut cerita pak Sunyoto, pemilik rumah makan, dulu sayur ini dihidangkan saat ada sambatan, gotong royong membuat rumah.
Setiap membangun rumah, warga Gunung Kidul biasanya mengundang saudara dan tetangga kanan kiri untuk membantunya. Ini merupakan wujud dari kerukunan dan keguyupan hidup warga setempat.
Tenaga mereka semua gratis, tidak ada yang dibayar. Sebagai rasa terima kasih, biasanya sang pengundang akan menyediakan makan siang bersama. Menu utamanya adalah sayur tempe dan cabe hijau tersebut.
Menu yang disajikan oleh rumah makan tersebut adalah menu rumahan, sangat cocok dengan lidah saya. Rasanya mirip dengan masakan ibu saya di Temanggung. Jadi saya seperti makan di rumah sendiri. Hmmm nikmat !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H