Keluarga adalah salah satu unit terkecil dari masyarakat, adapun anggotanya terdiri dari suami istri dan anak. Salah satu anjuran Agama bagi penganutnya adalah membangun rumah tangga 'keluarga'. Anjuran ini agar setiap manusia dapat merasakan keharmonisan dan kesejahteraan dalam kehidupan.
Dalam agama Islam sendiri, keluarga merupakan bentuk aktualisasi 'sunnah' yang pernah di contohkan Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu, Islam memiliki peran sentral dan konsep besar terhadap kehidupan berumah tangga.
Pada kaitan ini, legalitas tertinggi yang bertanggungjawab atas keharmonisan rumah tangga adalah peran orangtua. Termasuk dalam mengatur kurikulum keluarga seperti mendidik, membimbing dan mengajarkan anak dalam aspek religiusitas dan aspek pendidikan umum. Agar anak terdorong dan semangat dalam meraih cita citanya 'sukses' yang selama ini di inginkan kebanyakan orangtua pada umumnya.
Lalu ada sebuah pertanyaan ? Bagaimana ketika orangtua memiliki pemikiran radikal, fanatis dalam beragama, tidak menghargai agama orang lain 'intoleransi', menganggap dirinya yang paling benar, terlalu menutup diri 'eksklusif' dan tidak mau bersosial dengan orang yang tidak memiliki perspektif dengannya bahkan bermuara kepada tindakan kekerasan.
Hal ini akan berimplikasi terhadap masa depan seorang anak dalam menata cita-citanya, dan anak akan terjerembab kepada keadaan yang memprihatinkan 'masa depan suram'.
Secara alamiah anak akan menggugu dan meniru karakter orangtuanya, karena orang tua, terkhusus 'Ibu' adalah sekolah pertama bagi anak anaknya. Bila seorang ayah dan Ibu memiliki dan mengkonsumsi watak kekerasan dalam beragama.
'Radikalis' menganggap Islam adalah ideologi final untuk diajarkan, maka anak tidak akan mendapatkan proses sosial yang baik. Padahal dalam konteks 'anak usia dasar' adalah masa di mana naluri bermain 'bersosial dengan teman laki-laki maupun perempuan' harus teraktualisasi sesuai dengan fitrahnya seorang anak.
Fenomena saat ini banyak orangtua yang keliru dalam mengajarkan hukum islam kepada anaknya.
Semua ini dilandasi pada konteks keilmuan dari 'pengajian' yang mereka ikuti. Salah satunya kelompok dengan spektrum tertinggi tingkat ke-Radikalannya yang lahir dari semenanjung Arabiyah pada abad 18 yakni gerakan Salafi atau kelompok Wahabiyah yang cenderung sangat colonial dalam memahami agama menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Akar Radikalisme Keagamaan, banyak ustad dari kelompok mereka menjelaskan dari media YouTube kepada pengikutnya bahwa dalam mendidik anak agar menjadi anak yang soleh indikator dan tolok ukurnya dari narasi berikut:
"Anak itu tidak boleh pegang alat komunikasi, HP. karena diakhir zaman media membawa kerusakan dan penyimpanyan""Ajarkan dia penguatan aqidah, batasi mereka dengan teman yang lawan jenis"