Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan segala potensi yang dimilikinya, baik sumber daya alamnya, budaya dan kebudayaannya serta masyarakatnya yang mejemuk dengan ragam bahasa, suku, adat-istiadat, dan agama yang dianutnya.
Istilah keberagaman dapat diartikan sebagai suatu perbedaan yang muncul pada masyarakat dalam berbagai bidang yakni ras, agama, ideologi dan kebudayaannya. Namun dari keberagaman tersebut dapat memunculkan sebuah ketidak adilan atau bahkan tindakan diskriminatif.
Diantara ketidak adilan dan perlakuan yang diskriminatif dari adanya keberagaman tersebut adalah pengakuan agama. Pemerintah Indonesia secara resmi hanya mengakui enam agama yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Dampak dari adanya pengakuan tersebut akhirnya menegasikan keberadaan dan konsistensi agama-agama leluhur yang bahkan ratusan tahun telah ada dan memiliki pengikut yang banyak di bumi nusantara, jauh sebelum datangnya agama-agama yang kini mendapatkan pengakuan oleh negara.
Pengakuan tersebut didasarkan pada pendefinisian dan pemaknaan terhadap agama. Konsep agama yang diadopsi oleh negara saat ini adalah agama didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki kitab suci, Nabi atau Rasul, doktrin ketuhanan yang Maha Esa dan mendapatkan pengakuan internasional.
Gagasan ini kemudian diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Bowie (2005:189) bahwa pengakuan negara terhadap agama didasarkan pada beberapa aspek inti, yakni adanya kitab suci yang tertulis (based on written scripture), adanya wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Nabi, merupakan agama yang universal dan memiliki potensi untuk menghegemoni agama leluhur serta adanya doktrin agama yang terpisah dari aktivitas kelompok penganutnya.
Definisi agama yang selama ini dipahami dan diterapkan oleh pemerintah Indonesia merupakan sebuah jiplakan atau warisan konstruksi Barat abad ke-19 tentang "paradigma agama dunia" yang sarat mengandung nilai-nilai yang bersifat esensial dan memiliki superioritas serta diberlakukan secara universal.
Jika di Eropa, Kristen dijadikan sebagai prototipe agama dunia, maka di Indonesia, Islam dijadikan prototipe agama dunia, agama-agama minoritas menyesuaikan dengan agama mayoritas dan agama-agama lokal didiskriminasai. Artinya kebijakan yang dibuat lebih dominan sekadar untuk mengimplementasikan kebijakan negara yang hanya melayani dan mengakui enam agama resmi di Indonesia.
Akhirnya kebijakan yang dibuat cenderung diskriminatif dan lebih etnosentrif tanpa mampu mengakomodasi agama-agama yang terdiskriminasi. Ketidak adilan ini semakin diperkuat dengan munculnya Penetapan Presiden (PP) No. 1 (selanjutnya ditulis PNPS 1965) yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang No.1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Munculnya Undang-undang tersebut adalah sebagai upaya untuk membendung dampak dan pengaruh dari keberadaan agama-agama leluhur atau lokal di Indonesia.
Karena, dalam pandangan dan pengertian pemerintah, munculnya aliran-aliran dan kelompok-kelompok agama lokal tersebut telah memunculkan berbagai persoalan di ruang publik serta menimbulkan berbagai macam persoalan pelanggaran hukum yang dapat memecah belah persatuan nasional dan menodai agama.