Lihat ke Halaman Asli

Janji Edelweiss

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1330489010493519109

[caption id="attachment_108370" align="aligncenter" width="400" caption="Alun-Alun Suryakencana"][/caption]

Embun menyapa membangunkan tidur panjang edelweiss, dan mentari  mandikan kehangatan disekujur tubuhnya.  kini edelweiss siap menjalani hari dengan ditemani tebing dan rumput liar.

Aku, Mita, Bagas, Cokro dan Bambang memutuskan untuk mendaki gunung Gede, gunung yang berada tidak jauh dari ibukota tempat kami tinggal. Setiap hari kami sebisa mungkin untuk berkumpul entah untuk membahas tugas kuliah atau hanya sekedar mendengarkan cerita kekonyolan masing-masing sehingga kami pun tertawa bersama.

Jalaur putri yang kami pilih untuk mengawali pendakian Gede ini, sebuah jalur yang dibilang tidak telalu sulit namun cukup membuat kami lelah dengan track yang bisa dibilang terus menanjak secara cepat, berbeda dengan jalur Cibodas yang lebih bersahabat dengan pendaki, dan ini  membuat kami sering berhenti hanya untuk mengatur dan mengambil nafas panjang.

Sesekali Bagas, Cokro maupun Bambang silih berganti menyemangati kami berdua, aku dan Mita yang saat itu sangat kelelahan untuk melajutkan perjalanan, dengan kekonyolan dan kekocakan mereka menghibur kami sehingga pecahlah tawa kami semua dan sejenak hilang kelelahan yang medera kami secara ajaib. semangat itu kembali muncul walau kami tau kelelahan itu pasti akan hadir kembali di depan sana, tetapi kebersamaan dapat melupakan semua itu.

Senja datang menyapa kelelahan kami, angin meniup kedinginan masuk menembus ronga-ronga baju dan merasuk kekulit. Edelweiss dan semak belukar menyapa dengan senyum keindahannya berderet bersampingan dengan belukar dan tebing melukis karya seni dari Sang Maha.

Alun-alun suya kencana tempat kami mendirikan tenda, pembagian tugaspun di mulai ada yang mendirikan tenda mencari air, aku dan Mita bertugas menyiapkan makan malam, bekal untuk menghadapi dingin yang akan menyerang kami ketika kami terlelap.

Gelap mengusir keindahan senja dan lukisan awan berganti dengan kerlap-kerlip kecil di atas kejauhan seolah menggoda dan mengajak aku bermain, bernyanyi dan menari diantaranya, dingin telah mengusir lamunanku bermain, bernyayi dan bermain bersama bintang,  dan memaksa aku untuk mengahirinya lebih cepat,  aku pun masuk kekantong tidur ku menyiapkan bekal pendakian besok yang sudah pasti tidak mudah.

Hangat mentari masuk kedalam tenda-tenda kami dengan ini berarti kami harus bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak, tak apalah kami tidak mendapatkan keindahan sunrise di puncak itu. Kelelahan telah mendera kami semua sehingga rencana meyaksikan moment kehadiran si raja siang yang hangat harus kami batalkan.

Senyum dan peluk hangat edelweiss menyemangati aku dan kalian untuk mengahdapi kesombongan batu dan terjal yang menggoda kita untuk menyerah dan kalah, mereka menghadang tekat kita meraih puncak teritinggi Gunung ini.

Keegoisan yang merupakan sifat dasar aku dan kalian serta kelelahan yang begitu besar telah berhasil kita kalahkan, ya kita sampai pada puncak kebersamaan itu dengan keindahan dan kepuasan serta kepercayaan yang mampu kita buat bersama. Kemudian di puncak ini kita merajut janji dan cita-cita untuk selalu bersama.

[caption id="attachment_174163" align="aligncenter" width="525" caption="Gambar Google"][/caption]

_______________________________________________________________________

Untuk Sahabat-sahabat ku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline