Lihat ke Halaman Asli

Jadilah Orang Bejo (daripada Jadi Orang Pintar)

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anda pasti mengenal iklan salah satu obat tolak angin. Aktor iklan yang mirip Gubernur Jokowi itu bilang,” saya ini bejo, benar-benar mirip Joko....KW 2. Sifat mirip, BEJO= Bersih, Jujur, Ojo Dumeh. Suka blusukan juga, gak takut masuk angin.....dst”. Bejo menjadi istilah yang coba dipopulerkan.

Ada makna dalam kata “Bejo”. Secara etimologis, memang hanya berarti untung atau keberuntungan. Tetapi secara filosofis memiliki makna yang lebih dalam. “Bejo” lebih tepat diartikan sebagai keadaan positif yang diterimakan oleh Tuhan pada kita. Sifatnya take for granted, atau begitulah adanya. “bejo” menjadi kata sifat yang menguntungkan bagi pemiliknya.

Misal, dalam tabrakan KRL di Bintaro beberapa waktu lalu, seorang ibu sangat “bejo” karena tidak mengalami luka padahal berada di gerbon depan. “Bejo” dalam kalimat ini diasosiasikan sebagai kondisi keberuntungan diluar nalar atau diluar logika. Sama dalam cerita, nasib si anu sangat “bejo” sebab selama dua periode terpilih sebagai Ketua DPRD padahal dulunya hanya lulusan SMP itupun hasil penyetaraan (kejar paket).

Istilah “bejo” kian populer di tengah panggung politik di Indonesia. Bila jaman Soeharto yang menjadi bupati, anggota DPRD, gubernur atau menteri adalah orang-orang yang relatif terpilih, maka paska reformasi berubah keadaannya. Ada mantan tukang tebu seperti dalam cerita wabup magetan-jatim.

Ada cerita yang dulunya penjual jamu tradisional seperti mantan ketua DPC Demokrat Cilacap. Ada pula mantan penjaga pom bensin seperti ketua DPRD Jember. Wabupnya dulu juga mantan kusir dokar. Bahkan, ada pula menteri yang dulunya sales peralatan dapur.

Sama sekali tidak bermaksud membedakan, atau merendahkan profesi sebagaimana saya maksud diatas, tulisan ini hanya untuk mengurai pendapat umum terhadap istilah “bejo”. Dalam budaya Jawa misalnya, seseorang disebut bernasib “bejo” jika mendapat keunggulan harta, tahta, wanita, atau atribut sukses lain sementara latar belakang sebelumnya kurang mendukung.

Kembali ke iklan ala Jokowi diatas, pemeran iklan menyebut dirinya bejo karena mirip Jokowi meski KW2 (imitasi level 2). Nah, ketika dia menyebut dirinya “bejo” disitulah muncul persepsi personal bahwa tak semua orang bisa berkeadaan demikian. Nah, bagaimana dengan angapan diri anda? Sekolah tinggi, anggap saja sudah S2, tetapi cari kerja sulit, kalaupun ada hanya selevel SMA, gaji juga mentok UMR...trus?

Apalagi dengan adanya liberalisasi, semakin banyak pekerja asing mendatangi indonesia. Tak hanya di dunia konsultan, perhotelan, tetapi juga di bidang kesehatan seperti rumah sakit, industri dan lain sebagainya. Kita yang merasa cukup kompeten, dengan pengalaman dan pendidikan yang memadai, ternyata hanya menjadi bawahan atau karyawan biasa-biasa yang mungkin kalah level dengan mereka.

Apakah anda merasa tidak “bejo”? tanyalah pada diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline