Presiden Terpilih Jokowi memperkenalkan E-blusukan. Gaya baru blusukan berbasis teknologi informasi. Kelak ia ingin mengetahui perkembangan rakyat melalui teknik tersebut. Tampaknya Jokowi tidak ingin melepas istilah blusukan dalam kepempinannya nanti.
Mungkin blusukan telah dianggap sebagai trade mark sehingga mendulang sukses saat pilpres. Hal ini diakui banyak pengamat. Salah satu faktor penunjang elektabilitas Jokowi adalah karena opini merakyat sebagai ekses blusukan.
Bagi sebagian masyarakat blusukan mengurangi jurang pemimpin dan rakyat. Dengan bertatap muka, bersalaman, berpelukan dan bercakap-cakap langsung masyarakat menjadi terkesima dengan pemimpinnya. Mungkin tak berbeda jauh dengan gaya kepemimpinan Soekarno yang selalu dikerubungi rakyat jika berkunjung ke suatu tempat.
Tahun 2015 tinggal menghitung bulan. Pada tahun tersebut indonesia akan mengikuti MEA atau masyarakat ekonomi asean. Tantangannya tentu tak sedikit. Produk asing bisa membanjiri. Begitu juga dengan tenaga kerja asing. Bayang-bayang ketakutan muncul. Siapkan bangsa kita seperti saat ini?
Tentu bukan hal mudah menjawab hal tersebut. Sebagai negara dengan penduduk lebih dari 240 juta, maka tantangan presiden mendatang tak lagi remeh. Ia tak lagi mengurusi urusan PKL, tawuran pelajar, gorong-gorong saluran air, kios pasar dan tema lokal lainnya.
Sudah ada gubernur, bupati dan walikota. Maka tugas manajerial yang harus ditingkatkan. Presiden tak harus blusukan dengan iringan media demi popularitas. Tapi bagaimana mengukur dan mengecek hasil-hasil yang dikerjakan oleh gubernur, bupati dan walikota.
Blusukan manajerial menjadi blusukan yang mendesak. Agak galib bahkan lucu jika presiden punya jadwal blusukan ke berbagai daerah hanya untuk mengecek seperti yang diatas. Artinya, koordinasi dengan Gubernur dan Bupati/walikota yang perlu diintesifkan. Sebab blusukan bisa dimaknai kekurangpercayaan pemimpin pada bawahannya.
Jika muncul anggapan demikian bukan tidak mungkin blusukan seperti yang selama ini dijalankan Jokowi saat jadi gubernur akan menimbulkan resistensi dari bawahannya. Apalagi gubernur dan bupati/walikota juga dipilih oleh rakyat. Ditengah otonomi daerah seperti sekarang ini, yang perlu ditingkatkan adalah sinkronisasi.
Maka presiden ke depan harus tanggap keadaan. Persoalan domestik bisa diserahkan pada wapres dan menteri-menterinya. Sedangkan urusan internasional harus diutamakan. Indonesia yang kian terlemahkan oleh asing, membutuhkan sosok pemberani. Bukan lembek apalagi membebek pada kepentingan asing.
Menjalankan blusukan tidak dilarang. Tetapi menjadikan blusukan sebagai candu itu perlu dipertanyakan. Apakah tugas seorang presiden hanya untuk hal tersebut. Tentu tidak. Rakyat butuh jawaban konkret dan bukan tebar pesona. Pembatasan pembelian BBM bersubsidi yang telah menimbulkan reaksi masyarakat, tentu tak bisa diselesaikan hanya dengan blusukan.
Tetapi langkah terpadu yang dikendalikan presiden agar masyarakat kecil dan miskin tidak terlalu terdampak. Masyarakat sendiri juga harus kian kritis. Jika masih mengharapkan tebar pesona pemimpin tanpa solusi konkret bukan tidak mungkin masyarakat tertipu oleh pikirannya sendiri.
Negara kita kaya dan masyarakat berhak sejahtera. Pemimpin harus menjadi pemecah masalah (problem solver) yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Bukan penggalangan opini dan pesona demi popularitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H