Lihat ke Halaman Asli

Aliya Rizqina Sholihah

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya

RUU Sisdiknas Tidak Peduli Bahasa Indonesia

Diperbarui: 27 September 2022   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR menuai pro dan kontra. RUU tersebut telah diajukan pada Agustus 2022 dan disiapkan untuk memperbaiki UU Sisdiknas 2003. UU Sisdiknas 2003 pasal 33 ayat 1 menyebutkan “Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional”.

Akan tetapi, RUU Sisdiknas tidak menyebutkan hal tersebut. Tidak terdapat point yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar dalam pembelajaran, bahasa Indonesia hanya akan menjadi muatan wajib.

Bahasa nasional bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Hal itu telah disepakati dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Salah satu pengenalan bahasa Indonesia bagi masyarakat adalah dengan menggunakannya dalam aktivitas sekolah. Pada umumnya, anak-anak belajar berbahasa Indonesia dengan baik melalui pengajaran yang diterimanya saat di sekolah. 

Hal itu berhubungan langsung dengan aturan bahasa Indonesia yang digunakan sebagai pengantar pembelajaran. Saat bahasa Indonesia tidak menjadi pengantar dalam pembelajaran, masyarakat, khususnya siswa, akan jarang mendapatkan pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia. 

Terlebih jika bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa daerah. Masyarakat pada umumnya menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga. Jika saat di sekolah mereka juga berbahasa daerah, bahasa Indonesia akan semakin jarang digunakan. Upaya para pahlawan dalam mendeklarasikan Sumpah Pemuda akan sia-sia.

Indonesia memiliki beragam suku, sehingga beragam pula bahasa daerahnya. Suatu sekolah tidak hanya memiliki siswa dari satu suku saja. Ketika bahasa daerah menjadi bahasa pengantar dalam pembelajaran, akan terjadi miskomunikasi antara siswa dan guru, maupun siswa dan siswa lain. 

Miskomunikasi antara siswa dan guru akan membuat penyampaian materi lebih sulit diterima atau bahkan siswa menerima penyampaian tidak sesuai dengan yang disampaikan oleh guru. Miskomunikasi antara siswa dan siswa lainnya menimbulkan kesulitan dalam berinteraksi, komunikasi pun tidak berjalan dengan baik.

Sukuisme dikhawatirkan akan terjadi, jika bahasa Indonesia tidak menjadi bahasa pengantar dalam pembelajaran. Saat suatu sekolah memiliki berbagai suku di dalamnya, mereka akan berusaha menggunakan bahasa daerah masing-masing. Perasaan tidak ingin terkalahkan akan muncul sehingga mereka berlomba-lomba mempertahankan penggunaan bahasa daerahnya. 

Setelahnya, tak hanya bahasa, mereka akan mengunggulkan suku daerah masing-masing dan membuat munculnya sikap sukuisme tersebut. Sukuisme dapat berakibat buruk bagi bangsa Indonesia. Akan timbul perpecahan dan semakin menjauhkan persatuan.

Bahasa Indonesia akan semakin terlupakan ketika tidak menjadi bahasa pengantar pembelajaran dan justru bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, yang menjadi bahasa pengantar. Siswa tidak akan menguasai bahasa Indonesia dengan baik karena tidak ada pembiasaan di sekolah. 

Sebagian orang berpikir bahwa Indonesia akan menjadi lebih modern jika masyarakat menguasai bahasa Inggris. Hal tersebut membuat Indonesia semakin maju. Padahal, kemajuan Indonesia tidak berhubungan dengan penguasaan terhadap bahasa internasional. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline