Lihat ke Halaman Asli

Aliya Nur Fathiya

Terpuaskan dengan membaca dan menulis

Ajak Wartawan Terlibat dalam Pendidikan Literasi Media

Diperbarui: 2 Agustus 2018   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(learnsafe.com)

Membuka gawai lalu menuju mode jaringan seluler, sudah tentu untuk mengaktifkan mode tersebut untuk internetan. Berjam-jam mondar-mandir membuka setiap aplikasi karena notif pesan sudah masuk semua. Mulai dari membuka pesan group chat atau personal chat WhatsApp, mungkin lebih penting WhatsApp ketimbang aplikasi lain, sehingga dibuka duluan. Setelah membaca atau membalas pesan WhatsApp langsung menuju aplikasi sosial media lainnya, seperti Line, Instagram, Twitter, atau Facebook.

Entah, pesan apa saja yang telah masuk ke akun si pengguna dan apa saja reaksinya. Biasanya, di era teknologi yang makin canggih seperti ini, pesan broadcast marak di mana-mana.

Lalu apa yang terjadi jika pesan itu sampai ke pemakai media sosial lainnya? Tak jarang atau bahkan seringnya mereka langsung membaca penuh antusias. Bagaimana tidak, judul yang di bolt tebal saja sudah menarik perhatian.

Tak hanya pesan broadcast, berita-berita dari media online yang kredibilitasnya masih dipertanyakan pun sering kali memberikan berita palsu alias hoax. Istilah hoax telah ada sejak lama. Ada yang mengatakan istilah hoax sudah ada sejak tahun 1808, berasal dari bahasa Inggris yang artinya berita bohong atau palsu. Banyak orang menganggap kata hoax berasal dari kata 'hocus' -- diambil dari 'hocus pocus' kata yang sering digunakan para pesulap (semacam sim salabim).

Kejadian hoax juga pernah menimpa presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Pada zaman Soekarno ada seorang suami-istri yang mengaku sebagai Raja dan Ratu Kubu Suku Anak Dalam, Sumatera, pada 1950an. Mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah dalam rangka pembebasan Irian Barat yang saat itu masih di tangan Belanda. Berita itu terdengar Soekarno.

Soekarno yang kala itu sedang membutuhkan dukungan untuk pembebasan Irian Barat mengundang mereka ke Istana dengan jamuan istimewa. Namun, kedok mereka terbongkar saat mereka jalan-jalan ke pasar. Rekan seprofesi mereka yaitu tukang becak mengenali mereka. Kejadian ini merupakan kasus hoax pertama yang melibatkan korbannya Presiden ("Begini Kisah Hoax dari Zaman Sukarno Hingga Jokowi." tempo.co)

Sekarang rata-rata penduduk Indonesia melek teknologi, yang mana juga aktif dalam menggunakan media sosial sehingga penyebaran hoax di masa kini lebih pesat. Ada dua kelompok masyarakat yang menolak atau menerima berita.

Mereka yang menerima berita biasanya merasa bahwa opini miliknya mendapat dukungan dari berita yang diterima, sehingga merasa harus membagikan informasi tersebut pada orang lain. Sedangkan mereka yang menolak adalah orang-orang yang menerima berita tidak sesuai dengan opini mereka.

Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia belum bisa mencerna informasi yang didapat dengan baik. Menurut pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Irwansyah (2017), fenomena informasi hoax menunjukkan belum baiknya penerimaan masyarakat dalam menyikapi informasi. "Konstruksi informasi atau berita hoax memang disengaja. Sebab, pada dasarnya memang ada kepentingan di balik produksi informasi ini".

Apa yang mendasari seseorang memproduksi berita palsu? Sosiolog UGM, Derajad S Widhyharto mengungkap alasan sebagian orang 'suka' menyebarkan berita bohong karena terutama budaya komunikasi kita selama ini terbiasa formal normatif, di mana identitas sangat dibutuhkan. 

Ketika muncul online, tanpa harus memberikan identitas orang dapat mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Hal inilah yang menyebabkan ketika ada isu yang belum tentu benar dan kebetulan sesuai dengan opininya, seseorang kemudian menyebarkannya begitu saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline