Lihat ke Halaman Asli

Aliya Hamida

International Relations Enthusiast

Negara Dunia Islam: Antara Radikal, Kesengsaraan, dan Mispersepsi

Diperbarui: 6 Oktober 2021   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Hari ini seperti kuliah pada pekan sebelumnya, siang hingga sore saya mengikuti kelas mata kuliah "Diplomasi Ekonomi Dunia Islam". Terhitung masih pertemuan awal-awal, dosen saya mengajak untuk berkenalan dengan apa yang dimaksud atau dirujuk istilah 'dunia islam' itu sendiri.

Kami bersama-sama mengulas sebuah artikel yang ditulis Bapak Dr. Abdulaziz Othman Altwaijri. Bagian buku yang diberi judul "Connotations of the term 'islamic world'" menjelaskan dengan gamblang bahwa dunia islam merujuk pada 2 pemaknaan. 

Bisa jadi masyarakat yang beragama islam atau sejarahnya erat dengan islam, yang kedua, bisa merujuk pada negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. 

Kemudian beliau menambahkan, salah satu karakteristik entitas baik masyarakat atau negara yang dianggap islam ialah bisa dilihat dari budaya yang berlaku disana. Jika hal itu sesuai dengan nilai-nilai islam. Maka dapat dikatakan memang entitas tersebut menyandang identitas islam.

Kurang lebih, saya, perempuan berusia 19 tahun yang sama artinya telah menempuh perjalanan islam selama usia tersebut, setuju dengan gagasan dari Pak Dr. Abdulaziz. 

Begitupula dengan rekan rekan saya di kelas jika saya amati dari penyampaian opini mereka berkenaan dengan artikel atau bagian buku tersebut. 

Tetapi ada hal yang memunculkan kebingungan dalam diri saya, ketika dosen saya melanjutkan penjelasannya, menjabarkan materi ke berbagai arah, hingga sampai pada beberapa pernyataan "Arab Saudi ialah negara islam", "Arab Saudi dan Turki termasuk negara islam karena ada adopsi hukum/syariat islam sebagai hukum di negaranya", hingga "Fenomena yang ada, jika negara itu menggunakan ajaran islam, banyak kelaparan yang terjadi. Kenyataannya, dari dominasi masyarakat islam di dunia sebagian besarnya mengalami kelaparan (di bumi Afrika Asia atau lainnya)."

Saya tidak mengerti, mengapa kesimpulan yang sangat positif dari cuplikan buku tadi mampu menghantarkan pemikiran dosen saya pada pernyataan-pernyataan yang sangat negatif. 

Bagi saya suatu negara yang menjunjung nilai-nilai agama tak perlu dipertanyakan lagi kejayaan, kesehahteraan, dan kemakmurannya. Jikalau ada negara yang religius namun ia mengalami chaos. 

Perlu dipertanyakan, apakah memang negara itu menjunjung nilai-nilai agama yang dianutnya? Atau agama itu sekedar menjadi alat legitimasi kekeliruan yang dilakukan oknum-oknum di dalamnya? Atau justru negara yang religius memang terancam keberadaannya, tidak disukai oleh beberapa pihak yang merasa tidak diuntungkan bahkan dirugikan dari kondisi tersebut, sehingga memungkinkan adanya ikut campur mengaduk aduk urusan domestiknya dari oknum oknum asing?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline