Lihat ke Halaman Asli

STUDI KASUS BONDOWOSO: PPN dan Petani, Layakkah?

Diperbarui: 29 November 2024   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari depan; Emilia (1073); Husnan (1040); Chamelia (1069) ; Aliyah - cameramen (1038). Gedung KP2KP [28/11]

Bondowoso, 28 November 2023 – Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian dengan berbagai program yang bertujuan untuk mencapai swasembada pangan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk pertanian yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022. Objek pajak UMKM meliputi penghasilan dari segala jenis usaha yang dilakukan baik secara langsung atau melalui media online, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 Miliar (UMKM) dalam 1 Tahun Pajak.  

Gedung KP2KP Bondowoso saat kami wawancara [28/11/2024]

Beleid mengatakan bahwa sejak diberlakukannya pajak ini per 1 April 2022, petani dengan omzet tahunan lebih dari Rp 4,8 Miliar wajib memungut PPN dengan tarif efektif 1,1% dari harga jual. Namun, pajak tersebut tidak akan diterapkan pada petani skala kecil yang penjualannya di bawah angka tersebut, sesuai PP No. 23 Tahun 2018, sehingga memberikan keringanan kepada mereka yang menderita di bidang pertanian. Namun, meski omzet tidak melebihi 4,8M, tidak semua WP dapat menggunakan PPh UMKM. WP yang dikenakan PPh UMKM sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018 adalah:


7 Tahun Pajak – WP Orang Pribadi

3 Tahun Pajak – Perseroan Terbatas

4 Tahun Pajak – Koperasi, CV, dan Firma

Jangka waktu pengenaan PP ini terhitung sejak tahun pajak WP terdaftar bagi yang terdaftar sejak berlakunya PP 23 Tahun 2018; atau tahun pajak berlakunya PP ini, bagi yang terdaftar sebelum berlakunya PP 23 Tahun 2028. Menurut ibu Zaskia [28/11], seorang pegawai KP2KP, apabila omzet melebih Rp4,8M dan sudah lewat jangka waktu pengenaan PPh, maka diberlakukan Tarif Norma pada bruto/omzet pada tahun tersebut untuk mencari netto. Kemudian netto – PTKP sehingga menghasilkan PKP, yang kemudian diberlakukan Tarif Progressif untuk menentukan nominal pajak yang wajib dibayarkan.

Saat mengunjungi kediaman salah satu narasumber

Salah satu petani tebu di Curahdami, Pak Sutrisno (72), mengungkapkan, pajak pertambahan nilai yang dipungut tidak menjadi beban baginya. “Saya mulai ada pajak itu dari tahun 2010. Begitu menerima gajian dari pihak PG setelah jual tebu,… kok kurang nominalnya? Ternyata sudah dipotong pajak katanya, dan saya juga menerima kertas dari sana tentang pajak yang saya bayar itu.” Ujarnya. Beliau mengatakan bahwa pajak ini tidak menjadi beban karena penjualan tebu mendatangkan keuntungan yang besar. Selain itu, membayar pajak adalah kewajiban yang harus kita penuhi agar hidup kita tenteram dan sejahtera. “Biar barokah,” Ujarnya. Ibu Zaskia, pegawai KP2KP Bondowoso, juga mengatakan bahwa beberapa komoditas dengan omzet terbesar yang pernah menyetor langsung ke kantor diantaranya adalah kopi, tembakau, dan tebu. 

Bapak Sutrisno (72), saat di wawancarai di kediamannya. (28/11/2024)

Namun demikian, tantangan yang dihadapi pemerintah mengenai perpajakan masih tetap ada. Banyak petani yang masih belum sepenuhnya memahami kewajiban perpajakannya, dan sosialisasi pajak hasil panen masih hanya dilakukan melalui media sosial tanpa adanya program langsung kepada petani. "Belum ada program pembinaan atau pelatihan terkait perpajakan bagi petani," Ujar Ibu Zaskia, petugas perpajakan di kantor KP2KP Bondowoso.

Pemerintah berkomitmen memastikan pemungutan pajak dilakukan secara adil dan transparan. Sistem perpajakan self-assessment telah diterapkan, di mana penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya menjadi tanggung jawab wajib pajak. Namun, masih ada kendala dalam pelaporan SPT tahunan, yang seharusnya disetorkan antara Januari hingga akhir Maret. Keterlambatan dalam penyetoran ini bisa berakibat denda bagi petani. Di sisi lain, pajak hasil panen diharapkan dapat digunakan untuk mendukung sektor pertanian, meskipun penggunaannya masih menjadi pertanyaan besar bagi banyak petani.

Mengingat tujuan pemerintah yang tertera di web resmi Direktorat Jendral Pajak (Aziz M. A , 2023) untuk memasukkan Indonesia ke dalam lumbung pangan dunia pada tahun 2045, keberlanjutan di sektor pertanian dan dukungan terhadap petani sangatlah penting. Pemberlakuan Pajak Hasil Panen diharapkan dapat membantu petani agar lebih memahami peran mereka dalam pembangunan ekonomi dan pentingnya kontribusi mereka dalam mendukung sektor pertanian yang lebih berkelanjutan. Namun, peran pemerintah dalam memberikan edukasi dan sosialisasi yang lebih baik tetap menjadi kunci untuk mencapai tujuan tersebut.

Sumber :

Pajak.go.id (2023, 01 Februari). Panen Raya, Kenali Jenis Dan Tarif Pajak Hasil Pertanian. Diakses pada 28 November 2024, dari https://pajak.go.id/id/artikel/panen-raya-kenali-jenis-dan-tarif-pajak-hasil-pertanian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline