Lihat ke Halaman Asli

Dik Ror

saya adalah pelajar MA Tahfidh Annuqayah

Darto dan Peci Hitamnya

Diperbarui: 17 September 2024   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dik Ror

Aku dan temanku, Darto, menyusuri gang sempit yang sangat panjang berlebarkan sepeda motor. Meskipun begitu, terik matahari masih saja bisa memasuki gang itu dan membuat kucuran-kucuran keringat membasahi pakaian kami. Nafasku mulai tidak teratur. Aku pun meminta Darto beristirahat di pinggiran gang yang baru kami tempuh seperempatnya. Kami berdiri di kala ada pengendara sepeda motor lewat di gang itu. Gang yang sangat panjang itu adalah jalan tikus bagi mereka yang persetan dengan  tilang-menilang.

Kami berdua adalah alumni Pondok Pesantren yang sangat terkenal di kalangan orang-orang. Darto adalah teman sekamarku sekaligus kakak kelasku. Ia sangat pintar. Panggung acara haflatu al-imtihan seakan didirikan untuk dirinya seorang. Sebab, di setiap tahunya, namanyalah yang selalu di panggil pada pengumuman para duta sekolah. Berbanding terbalik dengan teman-teman sekamarnya, termasuk aku, yang tak pernah sekalipun berada pada peringkat sepuluh ke atas.

 Bukan hanya itu, fisik kami berdua pun berbeda jauh. Aku dengan rambut keriting, kedua mata seakan tak kerasan berdiam di tempatnya, hidung bagai colokan listrik, mulut dengan kedua bibir yang sangat besar, dan berkulit hitam, sangat berbeda dengan Darto yang berambut lurus, bermata sipit, berhidung moncong, bermulut langsing, dan berkulit putih yang pasti menjadi dambaan para wanita. 

 Setelah napasku mulai teratur kembali, kami melanjutkan perjalanan. Sudah berapa langkah yang kami tempuh napasku kembali tak teratur. Aku pun mengajak Darto untuk istirahat kembali. Dalam dudukku, aku memandang Darto. Dengan peci hitam yang selalu dikenakannya napasnya pun tak teratur. Lenguh-lenguhan napasnya bersamaan dengan naik turun dadanya.

 Setelah lima kali beristirahat sebab napas yang selalu kumat, kami berdua berhasil menyusuri gang panjang itu dan sampai pada pinggiran jalan raya. Tampaklah kendaraan-kendaraan besar-kecil berlalu-lalang. Bangunan-bangunan yang sedang mencakar langit tampak berdiri gagah. Kami pun melanjutkan perjalanan ke arah kanan setelah sekian lama hanya berdiri.  Tak lama kemudian, lampu-lampu dinyalakan. Ternyata gelap gulita mulai membungkus setelah matahari kembali bersembunyi tanpa kami berdua sadari. Kami pun tak melanjutkan perjalanan. Menepi di bawah atap parkiran sebuah toko guna berlindung dari dinginnya malam. Kami berdua pun merebahkan tubuh kami beralaskan sajadah yang kami bawa dan berbantal tangan lalu terlelap dengan cepatnya.

Keesokan harinya, kami berdua terbangun bersamaan dengan terbangunnya beburungan yang langsung terbang mencari pakan. Silau matahari menyilaukan kedua mata kami yang langsung kami lindungi dengan telapak tangan. Kami berdua terduduk. Tak lama kemudian terdengar dari belakang kami suara rolling penutup toko terbuka. Kami menoleh. Dan tampalah perempuan tua pemilik toko yang kelihatan sangat terkejut akan kehadiran kami berdua. Aku pun berdiri mengibas-ngibaskan pakaianku yang berdebu. 

"Apakah Ibu membuka lowongan kerja untuk kami berdua?" Aku pun mengutarakan tujuan utama kami berdua berjalan berkilo-kilo meter dari kemarin tanpa sekata menyerah pun. 

Ibu pemilik toko tanpa berpikir dua kali, apalagi berpikir panjang, sempurna menggelengkan kepalanya pertanda akan ketiadaan dan dibuntuti oleh pengusiran kasar. Kami melipat sajadah dan pergi tanpa salam dengan langkah-langkah lebar.

Tapi tak menyerah sampai di situ, setiap ada toko kami ucap salam dan berlanjut mengucapkan tujuan kami tadi. Apakah Bapak/Ibu membuka lowongan kerja untuk kami berdua?  Akan tetapi, tak ada satu pun yang menggubrisnya. 

Matahari sudah mencapai puncak klimaksnya. Panasnya mulai menyengat kulit kami bagai sengatan semut merah. Kami pun bernaung di bawah atap toko yang sedang tutup. Seketika aku teringat akan kejadian lima hari yang lalu. Dimana ketiadaan terjadi. Kejadian itu sempurna merenggut nyawa keluarga kami berdua. Keluarga kami sangat dekat. Berlibur bersama. Makan pagi, siang, dan malam pun bersama. Hingga pada malam itu, mati pun bersama. Dikala keluarga kami di tuduh melakukan perselingkuhan. Sebab adanya hubungan dua keluarga yang sangat erat. Para warga pun berencana membakar kedua rumah kami yang saling berdempetan. Dan entah pada pukul berapa dalam tidur kami, warna  kemerah-merahan muncul tanpa menyilaukan mata kami yang sedang tidur sangat nyenyak. Panas sana-sini pun terasa. Tanpa sadar kekayuan kedua rumah kami mulai pupus terbakar bersama keluarga kami. Terkecuali kami berdua yang berhasil menyelamatkan diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline