Dalam lima tahun terakhir sejak munculnya kajian tentang SDG's (sustainable development goals) untuk keberlajutan masa depan bumi, kemudian marak isu tentang lifestyle dalam beberapa aspek kehidupan.
Tata kehidupan di era disrupsi ini memang berubah dengan sangat cepat, proses pertukaran informasipun demikian.
Mereka yang sulit beradaptasi dengan laju perubahan akan mengalami kesulitan bahkan kehilangan apa yang dimilikinya.
Saat ini semakin banyak pilihan, banyak opsi dan mayarakat berada dalam sebuak ketidakpastian. Banyak yang merasa ingin memiliki semua yang dianggap perlu tetapi justru kehilangan fokus.
Kegelisahan ini menjadi pemicu munculnya kaum minimalis, mereka yang betul-betul menjatuhkan pilihan terhadap sesuatu dengan pertimbangan asas manfaat dan kebutuhan yang sangat matang sehingga tidak menjadi sia-sia.
Bukan hanya dengan prinsip semua membutuhkan biaya, misalnya untuk membeli sebuah mobil, kaum minimalist akan menimbang apakah mereka memang sudah membutuhkannya atau hanya sekedar keinginan untuk bergaya.
Selanjutnya mereka akan menghitung berapa biaya perawatan bulanan, pajak, bahan bakar dan seterusnya. Begitu juga dengan dampaknya terhadap lingkungan.
Selain itu mereka juga cenderung melihat aspek psikologis, misalnya jika mobil itu hilang, kecelakaan yang akan berdampak pada tingkat stress. Hingga se-detail itu maka mereka menganut "Quality over Quantity".
Tidak hanya pada aspek ekonomi, sosial dan Kesehatan saja, beberapa artikel juga sudah mulai menyinggung bagaimana isu minimalism ini diterjemahkan dalam pendidikan.
Misalnya konsep "less is more" dalam revolusi pendidikan yang terjadi di Finlandia ternyata berhasil mendongkrak kualitas pendidikan di negara tersebut.