Lihat ke Halaman Asli

Ali Wasi

Aparatur Sipil Negara

Menggenggam Dunia (4) Tangisan Rahmat

Diperbarui: 30 April 2024   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada sore hari yang hangat, aku berjalan menuju rumah Rahmat dan menawarkan diri untuk membiayai sekolahnya. Mata batinku mengatakan bahwa Rahmat akan menjadi orang yang sukses di masa depan.

Aku melewati perjalanan melalui lapangan sepak bola. Tak ada yang bermain, aku hanya mendengar suara anak-anak yang sedang mengaji. Mungkin sekolah tersebut yang Ibu Sri maksud, tempat untuk mengajinya Rahmat tanpa membayar sedikitpun. Masih ada juga ustad yang tanpa pamrih memberikan ilmu agama kepada generasi muda. Ya, semoga saja banyak yang demikian.

Aku terus berjalan melewati rimbunnya pepohonan dan sawah-sawah yang siap panen, hingga akupun telah sampai di depan rumah Rahmat. Banyak ibu-ibu yang sedang mengobrol di sekitar rumahnya, tetapi Ibu Sri tidak terlihat, mungkin di dalam rumahnya.

Perlahan kudekati rumah yang terlihat sepi dengan pintu yang terbuka. Wajar saja dalam rumah sederhana itu hanya tinggal dua orang, yaitu Rahmat dan Ibu Sri.

"Assalamualaikum." Sahutku di depan pintu rumah. Aku terdiam sesat, tetapi tak ada yang menjawab, mungkin beliau sedang di kamar mandi atau mungkin pendengarannya sudah mulai berkurang.

"Assalamualaikum." Sahutku, tetapi kali ini yang menjawab seorang ibu yang sedang mengobrol dengan tetangganya.

"Cari Ibu Sri, ya?" tanya seorang ibu berjilbab.

"Iya, Bu." Jawabku.

"Ketok saja pintunya."

"Oh iya, makasih Bu." Jawabku ramah.

Aku mengetuk pintu sedikit agak keras sebanyak tiga kali, tetapi tak ada yang menjawab. Aku ulangi berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline