Lihat ke Halaman Asli

Alivia RahmaDewi

Universitas Pendidikan Indonesia

Angka Perceraian Meroket, Rapuhnya Bangunan Keluarga tidak Sekadar Retorika, tapi Struktural

Diperbarui: 4 Oktober 2023   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: iStock via canva.com

Meroket lagi, angkat perceraian di INA mencapai 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun. Di sisi lain, angka pernikahan justru mengalami penurunan. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Dr Kamaruddin Amin menjelaskan, jumlah perceraian terbilang fantastis. Kenaikan angka perceraian di Indonesia, katanya, menjadi 516 ribu setiap tahun. Sementara, angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun. (Republika, 22-9-2023).

Beragam faktor yang menjadi latar belakang kasus perceraian ini. Ketua Umum Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar, menjelaskan, penyebab utama perceraian hingga 55% jumlahnya adalah karena percekcokan. Kemuduan perceraian akibat KDRT hanya 6.000-an kasus, tetapi angkanya makin meningkat dari tahun ke tahun. Sebanyak 80% perceraian terjadi pada pasangan usia muda dengan penyebab yang berbeda-beda, karena poligami, penjara, judi, dan politik. Selain itu, 67% di antaranya adalah cerai gugat istri kepada suami.

Jauh lebih parah lagi, Kepala Kanwil Kementerian Agama Aceh, Drs Azhari, menambahkan fakta bahwa di daerahnya (Aceh) ada kasus perceraian yang sebabnya bukan karena persoalan ekonomi atau KDRT, melainkan karena si suami seorang homoseksual. Di daerah lain, Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin menyatakan bahwa kemiskinan ekstrem dan tingginya angka stunting berdampak pada angka perceraian hingga mencapai 20 ribu pasangan. Kondisinya, katanya, masyarakat tidak mampu beli susu, ikan dan sayur yang cukup untuk ibu hamil dan anak pada dua tahun pertama usia pernikahannya.

Melihat dari berbagai faktor diatas, menegaskan bahwa rapuhnya bangunan keluarga di era yang semakin modern ini sungguh tidak sekadar retorika. Meski perceraian adalah suatu realitas kehidupan yang kadang kala tidak bisa dihindari oleh pasangan suami istri, tentunya tidak ada yang menghendaki perceraian menjadi cita-cita bagi masa depan pernikahannya. Namun, ketika Perceraian ternyata menjadi tren, bahkan fenomena sosial yang angkanya meningkat drastis, ini tentu tidak bisa kita biarkan. Atas dasar ini, penyelesaian secara individu internal saja tidaklah cukup, mengingat faktor eksternal juga bisa berpengaruh pada pernikahan sehingga berujung perceraian, bahkan sifatnya sistemis.

Faktor - faktor tersebut diantaranya Pertama, faktor ekonomi. Tersebab penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Penguasaan kekayaan oleh segelintir orang telah berdampak pada kemiskinan di masyarakat. Ditambah lagi lapangan pekerjaan yang sulit menambah deretan angka kemiskinan. Kedua, faktor sosial. Sistem pergaulan yang serba bebas pun turut menyumbang faktor perceraian. Sehingga peselingkuhan pun seakan menjadi drama harian. Ditambah gempuran virus L68T yang dibiarkan hidup bebas atas nama HAM. Ketiga, faktor media. Dunia maya yang begitu bebas serta mampu mempengaruhi gaya hidup kehidupan nyata.

Ini semua merupakan efek domino dari penerapan sistem sekuler-kapitalis liberal yang sedang diterapkan oleh negara saat ini. Sehingga wajar, banyak bangunan keluarga yang sarat bahkan kosong visi dan misi hakiki, yakni visi misi akhir untuk meraih Ridho Allah SWT, sebab tidak ada penjagaan yang begitu tersistemis dari negara.

Membentuk rumah tangga sesungguhnya merupakan bagian dari syariat. Untuk itu, Allah menggariskan sejumlah hukum agar dalam menjalankan biduk rumah tangga senantiasa dalam petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah membebankan kewajiban kepada laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) dan kaum perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt. Yang keduanya wajib memahami konsekuensi dari amanahnya masing masing, bukan dalam rangka saling menuntut hak dan meninggalkan kewajiban.

Sementara itu, negara berperan besar dalam menyiapkan warganya untuk memasuki jenjang pernikahan baik ilmu maupun skill. Selain faktor individu yang disiapkan, negara juga (khilafah) menjaga ketahanan keluarga dari berbagai aspek. Mulai dari sistem ekonomi yang tidak berpihak pada sebagian pihak -pemodal- tapi dalam rangka terpenuhinya kebutuhan primer dan dasar untuk seluruh warga negara. Kemudian sistem sosial pergaulan antara laki laki dan perempuan dan media sangat dijaga supaya tidak penuh dengan suasana syahwat. Islam sangat memahami bahwa rumah tangga berperan besar dalam menjamin keberlangsungan peradaban. Ini karena setiap keluarga terintegrasi dengan tanggung jawab masa depan bangsa dan negara, bahkan peradaban manusia. Yang jadi masalah utamanya adalah sedang diterapkannya sistem kehidupan sekular -buatan manusia- saat ini, dan Islam hanyalah bersifat parsial saja.

Dengan demikian, selama konsep-konsep sekuler kapitalisme ini berlangsung, institusi pernikahan akan terus menghadapi guncangan. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan institusi rumah tangga selain kembali pada syariat-Nya secara kaffah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline