Pasca tragedi berdarah Charlie Hebdo (CH), Rabu 7 Januari 2015 di Paris, ruang public kembali dipanaskan isu Islam dan Barat serta eksistensi media CH sebagai representasi freedom of speech yang memunculkan simpati je suis Charlie di seluruh dunia. Walaupun simpati kasus pembunuhan Pania Papua dan Baga Nigeria dunia menutup mata.
Beragam pandangan berbeda merasionalkan sebab meninggalnya 10 staf CH dan 2 polisi yang diantaranya muslim dan posisi yang dimainkan CH yang cenderung terlihat anti Islam dan rasis bagi kebanyakan muslim di Eropa.
Tragedi ini juga dimanfaatkan ekstrim kanan dari partai the National Front pimpinan Marine Le Pen memperkeruh kebijakan imigran di Prancis dan Eropa umumnya. Eropa surga kosmopolit tujuan ekonomi dan politik imigran dari berbagai belahan bumi. Hanya saja, krisis politik dan ekonomi global yang mengancam Eropa memunculkan riak-riak politik yang kompleks melibatkan isu agama.
Majunya budaya dan teknologi media menciptakan tantangan baru, mediatisasi gosip politik melalui kartun satir dan semacamnya. Argumen alternative yang lebih kosmopolit di tengah mediatisasi dan komunikasi politik ala CH relatif diperlukan. Di Indonesia sebenarnya mulai terlihat budaya ini di media social Path atau Facebook, aktif merespon kembalinya budaya politik otoriter orde baru.
Konten satir CH realtif mewakili progres era perubahan trend politik yang bersandar pada media. Bagi praktisi media, seni, intelektual dan filsuf Prancis, kontent CH bukan masalah tapi bagi Cherif Kouachi dan Said Kouachi hal itu merendahkan sakralitas Islam.
Charlie Hebdo relatif merefleksikan perjalanan panjang peradaban dan media di Prancis. Media satir di Eropa tak hanya satu tetapi lebih artistic dan media-oriented misalnya the Onion atau Le Canard Enchaine, London`s Private Eye. Media semacam CH, menurut Adam Gopnik dalam tulisannya Satire Lives di The New Yorker, jarang di Prancis dan bisnis yang sulit bertahan. Media semacam ini hanya laku di Amerika. Media CH ini merefleksikan kuasa media dan kondisi material historis zaman kapitalistik mutakhir. Bisnis media sedang bergerak mencari trend dan lahan baru di satu sisi dan perluasan makna ruang publik demokratis.
Kuasa media secara teoretik mempertemukan tradisi pluralis maupun Marxist walau sudut penekanan berbeda. Pluralis percaya peran demokratis media sedang Marxist selalu mencurigai kepentingan elitis media (Gurevitch et all, 2005). Tranformasi kuasa media terjadi secara global. Media dalam kajian politik klasik dianggap berpengaruh dan dilematis bagi pertumbuhan demokrasi dengan melihat kasus skandal Clinton-Lewinski, kemenangan Fernando Collor de Mello’s dalam pemilu Brazil 1989, Silvio Berlusconi 1994 di Italia, Tony Blair 1997 di Inggris (Mazzoleni and Schulz’s, 1999). Kini media makin kuat dan menjadi latar drama-drama politik kontemporer.
Mediatisasi politik meninggi bergantung pada logika media apalagi di negara-negara maju. Media massa dan media social makin penting tak lagi sebagai referensi politik tapi institusi dan actor politik terlibat misalnya dalam Arab Spring Timur Tengah , OWS Amerika, revolusi payung hongkong hingga penolakn BBM di Indonesia.
CH merefleksikan mediatisasi politik di jantung Eropa. Jika tragedi CH terjadi sebagai reaksi teroris Islamis al-Qaeda Yaman terhadap content satir CH yang mensatirkan figur nabi Muhammad 2006 dan pemimpin ISIS 2015, maka sungguh itu contoh miskomunikasi global dan kini media terancam teror kapan pun. Perspektif Islam yang moderat harus menjembatani crisis komunikasi.
Media Prancis kini harus berhadapan dengan provokasi kaum Islamis global yang makin menguat membangun jaringan informasi dan terror dan potensi terorisme dari dalam yang sewaktu-waktu merekrut imigran yang bersimpati dengan kaum Islamis.Media di Barat harus banyak mengkover tokoh Islam seperti Tariq Ramadhan¸ pakar Islam Oxford yang jelas menyatakan tragedy berdarah ini menyalahi prinsip mulia ajaran Islam.
Teroris adalah kanker yang dibesarkan dan dilegitimasi oleh jaringan internasional kaum Islamis dari al-Qaedah hinggan ISIS.Hossein Nasr (2009) memiliki argument kuat menentang pandangan esensialis mereka bahwa tradisi Islam sangat besar dan punya kapasitas untuk koeksis dengan tradisi, agama dan peradaban yang lain.
Di tengah upaya terror dan tumbuhnya budaya dan teknologi media, argumen Islam moderat seperti Tariq Ramadhan dan Hossein Nasr harus kembali dikuatkan di Indonesia menjembatani crisis komunikasi antara Barat dan Islam yang belum selesai. Rekonstruksi dialogis yang lebih sensitive, mengakui eksistensi dan identitas dalam beragam perspektif masih perlu dikembangkan di ruang public. Ketika CH mensatirkan Islam, media ini kehilangan konteks akan struktur ekonomi dan politik global yang timpang berjumpa dengan menguatknya kaum Islamis di Timur Tengah yang kecewa dengan kebijakan ofensif Barat satu dekade terakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H