Lihat ke Halaman Asli

Alisya Sasqia Widy

Mahasiswa Universitas Negri Jakarta

Perguruan Tinggi dan Dilema Etika: Mengkritisi Kejadian Kekerasan Seksual yang Merajalela

Diperbarui: 20 April 2024   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: databoks.katadata.co.id

Kasus kekerasan seksual seringkali menjadi buah bibir di sosial media. Lingkungan pendidikan, terutama perguruan tinggi, mendapati kasus kekerasan seksual dengan tingkat tertinggi dari tahun 2015--2021.

Komnas Perempuan juga menegaskan bahwa lingkungan pendidikan bukan merupakan zona aman untuk pelajar dari segi kekerasan seksual, seperti yang diungkapkan dalam Lembar Fakta tentang Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan.

Komnas Perempuan menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Mayoritas laporan tersebut, atau 35%, berasal dari perguruan tinggi atau kampus selama periode 2015-2021. Selain dari kampus, pesantren (16%) dan SMA/SMK (15%) juga banyak melaporkan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. 

Laporan juga berasal dari lingkungan pendidikan lain seperti SMP, SD, TK, SLB, vokasi, dan pendidikan gereja dengan jumlah yang lebih sedikit. Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan seringkali melibatkan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, senior organisasi kemahasiswaan dan junior, tokoh pesantren dan santri, guru dan murid, serta lainnya. 

Kasus seperti itu masih terjadi hingga akhir-akhir ini, seperti yang terjadi pada Desember 2023 dengan laporan yang melibatkan Ketua BEM UI, Melki Sedek. Satgas PPKS UI telah mengonfirmasi laporan tersebut namun tidak mengungkapkan detailnya karena terikat kode etik kerahasiaan. Melki pun diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua BEM UI setelah laporan tersebut.

Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi, antara lain adalah ketimpangan relasi kuasa, kurangnya edukasi mengenai konsensus seksual, dan budaya patriarki yang masih kuat. Selain itu, stigma dan ketakutan akan pembalasan seringkali membuat korban memilih untuk diam. Universitas memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi mahasiswa dan staf mereka dari kekerasan seksual. Hal ini termasuk pencegahan melalui pendidikan, membuat kebijakan yang mendukung korban, dan menangani kasus secara serius dan adil. Institusi juga harus menyediakan layanan konseling dan dukungan hukum bagi korban.

Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
Meskipun telah diambil langkah-langkah seperti pembentukan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, masih ada berbagai tantangan dalam proses penanganan ini. Salah satu tantangan utamanya adalah keterbatasan sumber daya yang membuat program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tidak berjalan secara optimal.

Selain itu, kesadaran dan partisipasi civitas akademika juga masih rendah, sehingga program-program yang dirancang untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual menjadi kurang efektif. Stigma dan ketakutan untuk melapor juga masih menjadi hambatan, di mana korban merasa malu dan takut terhadap stigma dan viktimisasi yang mungkin mereka alami jika melaporkan kejadian. Meskipun ada sistem pelaporan yang aman dan bebas stigma, persepsi ini masih menjadi penghalang bagi korban untuk mendapatkan bantuan. 

Melalui perubahan kebijakan, peningkatan kesadaran, dan dukungan untuk korban adalah kunci untuk mengakhiri siklus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dengan kerja sama dan komitmen dari seluruh komunitas kampus, kita dapat berharap untuk menciptakan lingkungan akademik yang lebih aman dan inklusif.

Alisya Sasqia Widy, Mahasiswa Program
Studi Hubungan Masyarakat dan
Komunikasi Digital, Universitas Negeri Jakarta angkatan 2022




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline