Lihat ke Halaman Asli

Alisya Rahma Nisa

Mahasiswi Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Penangkapan Sorbatua: Bukti Kegagalan Negara Menghargai Hukum Adat

Diperbarui: 8 Juni 2024   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Baru-baru ini, jagad maya dihebohkan dengan beredarnya video penjemputan paksa ketua adat Dolok Parmonangan, Sorbatua Siallagan oleh orang tidak dikenal (OTK). Setelah ditelisik, penangkapan Sorbatua oleh kepolisian daerah Sumatera Utara merupakan buntut dari aksi masyarakat adat Dolok Parmonangan yang dipimpin oleh Sorbatua untuk melindungi wilayah adatnya dari aktivitas PT Toba Pulp Lestari yang merusak lingkungan.

Kriminalisasi masyarakat adat rupanya telah menjadi makanan sehari-hari pemberitaan di media massa. Masyarakat adat yang seharusnya dilindungi dan dihormati oleh negara malah menjadi sasaran kriminalisasi. Artikel ini akan membahas bukti kegagalan negara dalam menghargai hukum adat melalui kasus penangkapan Ketua Adat Sorbatua Siallagan.

Kronologi Singkat dan Latar Belakang 

Pada Jumat 22 Maret 2024, Sorbatua Siallagan, Ketua Adat Dolok Parmonangan, ditangkap oleh polisi saat membeli pupuk di Tanjungdolok. Penangkapan ini disaksikan oleh istrinya dan dianggap sebagai penculikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. 

Dalam surat penangkapannya, Sorbatua dituduh melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan di area konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Penangkapan Ketua Adat Dalok Parmonangan menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk aktivis HAM, organisasi masyarakat, dan akademisi. 

Pasalnya, penangkapan Sorbatua diduga berkaitan dengan perjuangan Komunitas Adat Dolok Parmonangan dalam upaya membebaskan wilayah adatnya yang masuk dalam konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT TPL.

Jauh sebelum aksi penangkapan ini, Sorbatua dan masyarakat adat Dolok Parmonangan telah lama berkonflik dengan PT TPL terkait sengketa lahan adat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), luas wilayah adat Dolok Parmonangan sebesar 851,42 hektare, dan 235,71 hektare di antaranya tumpang tindih dengan konsesi PT TPL. Wilayah seluas 235,71 hektare inilah yang sejak beberapa tahun belakangan diperjuangkan oleh Sorbatua dan anggota komunitas adatnya.

Jika ditelisik lebih dalam, sejak 2019 PT TPL telah melakukan kriminalisasi terhadap dua orang Masyarakat Adat Sihaporas yang juga berjuang mempertahankan tanah adat mereka dari kehancuran masif akibat aktivitas PT TPL. Pengadilan Negeri Simalungun memutus pidana penjara selama 1,6 tahun untuk keduanya.

Berdasarkan uraian kasus kriminalisasi masyarakat adat diatas, timbulah pertanyaan terkait dimana peran negara dalam melindungi hak-hak masyarakat adat yang secara tersurat diamanatkan oleh konstitusi?

Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Huta Utte Anggir Dolok Parmonangan

Hak ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum adat pada lembaga hukum dan hubungan konkret antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya. Hak ulayat diakui secara legal oleh hukum nasional dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam prespektif hukum adat, hak ulayat melambangkan hubungan erat antara masyarakat adat dengan tanah, alam, dan warisan nenek moyang mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline