Lihat ke Halaman Asli

Komisaris di Lembaga Keuangan Mikro BPR

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KOMISARIS DI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO BPR

Oleh : Ali Suyanto Herli

Komisaris

Beberapa hari lalu saya bersama dengan rekan-rekan pengurus lembaga keuangan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) mengadakan acara makan siang bersama. Kami secara rutin bertemu untuk saling berbagi pengalaman dan berdiskusi tentang masalah-masalah yang ditemui dalam pekerjaan kami.

Seorang peserta bercerita tentang lemahnya kompetensi dewan komisaris di tempatnya bekerja, sehingga acapkali dewan direksi merasa kekurangan partner tandem di dalam berdiskusi atau mencari solusi-solusi atas permasalahan yang timbul di institusinya.

Lalu diskusi menjadi hangat karena adanya ketimpangan yang mencolok antara kualifikasi dewan komisaris yang dibutuhkan oleh lembaga BPR versus kenyataan yang ada di lapangan.

Banyak pemilik usaha BPR (dan juga usaha-usaha non bank lainnya) yang berpikir bahwa jabatan komisaris itu hanyalah suatu pelengkap penyerta saja di dalam suatu struktur organisasinya. Akibatnya jabatan itu seringkali ‘diberikan’ kepada sanak keluarga dari si pemilik BPR daripada diberikan kepada kaum professional dari luar yang lebih kompeten.

Parahnya lagi, sanak keluarga yang menjabat sebagai komisaris BPR tersebut banyak yang tidak memahami operasional dan regulasi perbankan. Mereka hanya mengandalkan naluri bisnis di dalam mengambil keputusan. Dan tidaklah heran jika komisaris tipe seperti ini jarang datang ke kantor untuk melakukan tugas dan tanggung-jawabnya.

Kasus-Kasus Komisaris

Dalam kasus yang pernah saya temui dan agak aneh menurut saya, ada pula BPR yang mewajibkan dewan komisarisnya untuk bekerja setiap hari kerja dengan jam kerja seperti karyawan operasional lainnya. Akibatnya dewan komisaris tersebut ikut terlibat (terlalu) aktif di setiap transaksi di BPR.

Namun ada pula seorang komisaris BPR yang pernah memberi seminar di kalangan perbankan bahwa dewan komisaris tidak perlu terlibat di dalam operasional perbankan (BPR). Dalam satu sisi “tidak perlu terlibat”, saya mengiyakan karena dewan komisaris adalah pejabat non operasional. Tetapi di sisi lain, dalam hal atau batasan-batasan kewenangan tertentu yang besar sifatnya, dewan komisaris juga harus dilibatkan mendampingi kewenangan dewan direksi.

Misalnya dalam kasus kewenangan hapus buku kredit macet di BPR. Jika kewenangan tersebut 100% diberikan kepada dewan direksi tanpa batasan jumlah dan tanpa meminta persetujuan kepada dewan komisaris terlebih dahulu, tentu akan sangat tidak terkendali kewenangan itu. Di dalam manajemen selalu ada fungsi pengawasan. Setiap fungsi di dalam struktur organisasi harus ada yang mengawasi. Bahkan dewan komisaris pun juga akan dipantau oleh RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dari badan usaha tersebut.

Komisaris Menurut UU No 40 Tahun 2007

Dewan Komisaris  di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sekurang-kurangnya berjumlah 2 (dua) orang anggota sesuai ketentuan yang terdapat dalam  Peraturan Bank Indonesia no 8/26/PBI/2006 tentang BPR.

Menurut Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada pasal 108 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha, dan memberi nasihat kepada Direksi,” serta pada pasal 114 ayat 1 menyebutkan, “Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan.”

Dewan Komisaris mempunyai tugas dan tanggung-jawab yang cukup signifikan di dalam melaksanakan fungsi pengawasan atas kebijakan pengurusan usaha (BPR dalam kasus pembicaraan ini), sehingga sudah selayaknya kualifikasi dewan komisaris tersebut adalah orang-orang yang lebih kompeten (dan tentu saja integritasnya baik) di bidang pekerjaannya, baik dalam hal regulasi maupun dalam hal pengambilan justifikasi, dibandingkan orang yang akan diawasinya.

Bagaimana mungkin fungsi pengawasan oleh dewan komisaris akan berjalan secara optimal bilamana orang-orang yang diawasinya, misal dewan direksi, jauh lebih pandai dan pengalaman? Tentu saja akan sulit sekali.

Bila kondisi itu terjadi, maka bahaya fraud akan selalu muncul.

Sebaliknya bagi para pihak-pihak yang mendapatkan jabatan komisaris (di BPR) sebagai ‘pemberian’ karena kekerabatan dengan keluarga pemilik BPR, perlu diketahui pasal 115 ayat 1 di UU nomor 40 tahun 2007 di atas, “Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam hal melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.”

Jadi suatu jabatan yang diemban tanpa kompetensi tetap mengandung suatu resiko yang besar juga. Bagaimana mungkin Anda sebagai dewan komisaris akan tahu bahwa pekerjaan Anda sudah benar jika Anda tidak memahami regulasi dan kondisi di BPR Anda, apalagi jika Anda tidak pernah datang ke kantor Anda sekalipun saat sedang ada pemeriksaaan rutin tahunan oleh otoritas perbankan (yang nantinya tugas ini akan diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan)?

Di dalam BPR dewan komisaris wajib membuat Laporan Pengawasan Dewan Komisaris per semester yang nantinya dikirimkan ke Bank Indonesia selambat-lambatnya dua bulan setelah akhir tiap semester. Namun seringkali karena kurangnya kompetensi dan pemahaman dewan komisaris terhadap pekerjaannya, maka laporan-leporan tersebut proses pembuatannya lalu ‘dipandu’ oleh orang-orang subordinasi yang seharusnya diawasi oleh dewan komisaris. Jadi lucu, bukan?

Komisaris yang baik dan benar

Menurut Ir Zinsari MM MBA, pengajar training di lembaga-lembaga BPR, “Komisaris/ Pengawas yang sukses tentulah adalah mereka yang dapat melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab untuk kemajuan perusahaan, dalam hal ini BPR tersebut. BPR dalam kegiatannya melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dalam bentuk pinjaman, tentu saja faktor kepercayaan masyarakat menjadi sangat penting. Oleh karena itu sebagai anggota dewan komisaris / pengawas BPR perlu membekali dirinya dengan pengetahuan yang memadai mengenai proses bisnis BPR dan memahami risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh BPR. Mengingat bisnis perbankan adalah suatu bisnis yang sarat dengan risiko dan sarat dengan pengaturan oleh pihak otoritas, maka Komisaris / Pengawas yang sukses adalah mereka yang memahami peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan bisnis BPR secara baik.”

Melihat bahasan tersebut jelas lah bahwa dewan komisaris secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kesuksesan operasional lembaga perbankan tersebut. Jika kondisi BPR sehat, karena fungsi pengawasan berjalan efektif, maka kepercayaan masyarakat akan makin meningkat. BPR yang tidak dipercaya oleh masyarakat dan yang dipercaya oleh masyarakat tentu saja akan beda sekali ruang gerak usahanya.

Lebih lanjut Ir Zinsari bahkan memberikan prasyarat cukup tinggi untuk menjadi komisaris yang sukses. Ini dia :


  1. Memahami tugas dan tanggung jawab Komisaris
  2. Memahami tugas dan tanggung jawab Direksi
  3. Memahami peraturan dan ketentuan yang berkaitan dengan BPR
  4. Mampu membaca laporan keuangan BPR
  5. Mampu menganalisa laporan keuangan BPR
  6. Mampu memahami rencana kerja BPR
  7. Mampu membuat laporan pelaksanaan rencana kerja
  8. Mampu menginterpretasikan makna rasio-rasio keuangan
  9. Memahami faktor-faktor penilaian tingkat kesehatan bank

Tentu saja untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris/Pengawas BPR, seseorang calon harus terlebih dahulu lulus Fit & Proper Test yang diselenggarakan di Bank Indonesia setempat (sesuai PBI no 8/26/PBI/2006). Persetujuan atas calon komisaris itu akan berdasarkan pada 3 (tiga) faktor, yaitu : 1. Integritas, 2 Kompetensi, dan 3. Reputasi keuangan (sesuai PBI nomor 14/9/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) bagi Bank Perkreditan Rakyat, pasal 26, ayat 1).

Misi Moral

Akhirnya pertemuan makan siang dengan rekan-rekan perbankan (BPR) itu ditutup dengan suatu kesimpulan bersama, bahwa setiap jabatan adalah tanggung jawab. Sebagai direktur, atau komisaris atau bahkan sebagai klerikel pun di dalam menjalankan tugasnya selalu terkandung unsur-unsur resiko hukum.

Walaupun fungsi pengawasan dewan komisaris belum berjalan secara efektif, namun akan lebih baik jika kita juga membantu para dewan komisaris di masing-masing BPR agar mereka lebih kompeten dari waktu ke waktu.

Nama baik dan harga diri jauh lebih penting daripada materi. Jika kita melakukan penyimpangan kewenangan secara sengaja, entah demi apa pun juga, cepat atau lambat pasti akan terungkap. Tentu hal itu akan sangat fatal sekali. Seorang professional yang kompeten dan berintegritas baik, walau tanpa diawasi, harus selalu bekerja dengan baik dan benar. Terima kasih.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline