Lihat ke Halaman Asli

Perkara Potong-memotong Leher

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

PERKARA POTONG-MEMOTONG LEHER

Oleh : Ali Suyanto Herli

Beberapa hari lalu seorang politisi sebuah partai politik berargumen dengan lantang di media massa terkait tuduhan korupsi terhadap rekan politik sesama partai tersebut, ”Potong leher saya kalau si A korupsi!”

Berbicara soal ‘sumpah potong-memotong’, sebelumnya sudah ada politisi lain yang bersumpah siap digantung di Monumen Nasional bila terbukti korupsi. Bila kita tarik lagi ke belakang kronologis waktunya, pernah ada politisi lain yang siap melakukan sumpah pocong jika terbukti berbohong (dalam kasus korupsi). Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan seseorang dalam keadaan terbalut kain kafan seolah yang bersangkutan telah meninggal dunia (pocong). Jika seseorang berbohong di sumpah pocong (tradisi lokal), maka dipercaya dia akan mendapat hukuman dari Tuhan.

Kalau kita amati, intensitas sumpah itu makin meningkat kualitasnya. Dari sumpah pocong, kemudian gantung, lalu potong leher. Jika dalam dunia film slasher, semakin sadis penyiksaan dan pembantaian terhadap korban, maka akan semakin cult film itu. Yang pasti, darah akan selalu ada di sana. Ada kesan yang ingin disampaikan oleh pengucapnya, bahwa semakin sadis sumpahnya itu (agar semakin) kita percaya pada ucapannya.

Dalam prakteknya, kata-kata sumpah itu digunakan untuk mempertegas kesan dan pesan yang ingin disampaikan si penyampai pesan. Kata-kata sumpah, biasanya melibatkan nama Tuhan, dapat saja diiringi dengan kata-kata makian yang berkonotasi ke ‘perihal seksual’,atau ke hal-hal terkait SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), nama-nama binatang (utamanya hewan bercap nista), hal-hal kotor dan menjijikkan, serta kata-kata yang bersifat menyerang (offensive).

Mengapa Bersumpah?

Menurut seorang pemerhati masalah ilmu pengetahuan psikologi Timothy Jay, “Swearing is like using the horn on your car, which can be used to signify a number of emotions (e.g., anger, frustration, joy, surprise).” Lebih lanjut Timothy Jay menambahkan, bersumpah terkadang juga mempunyai sisi positif, yaitu membuat si penyampai pesan (messenger) jadi lebih didengar oleh lingkungan yang kerap meremehkannya. Bahkan bersumpah juga mempunyai efek katarsis jiwa dari perasaan marah atau putus asa.

Hampir setiap orang bersumpah sepanjang hidupnya, semua gender, semua usia, semua ras, semua latar belakang pendidikan dan ekonomi, dari sejak anak-anak mampu mengucapkan kata-kata sampai mereka wafat. “Beneran. Sumpah samber geledek! Amit-amit deh! Serius!” Yang membedakan mereka hanyalah kadar intensitas sumpah dan tingkat kualitas sumpahnya. Anak-anak bersumpah kepada guru atau orang tua, misalnya karena alasan terlambat masuk kelas. Pekerja bersumpah kepada atasannya, misalnya karena lupa melakukan suatu perintah. Suami bersumpah kepada isterinya. Setiap orang bersumpah kepada setiap orang.

Menurut survey yang diadakan majalah American Demographic volume 25 nomor 10, rata-rata 72% pria dan 58% wanita berbohong di muka umum. Jika dilihat dari sisi usia antara 18 sampai dengan 34 tahun, maka 74% responden mengaku sering bersumpah. Jumlah itu menurun pada responden usia 55 tahun ke atas.

Tidak dijelaskan mengapa semakin tua usia seseorang, semakin berkurang sumpah-sumpahnya. Mengapa di Amerika perilaku bersumpah berkaitan erat dengan usia produktif? Kemungkinannya, orang bersumpah dalam rangka bekerja atau mencari nafkah, entah di dunia bisnis maupun di karir politiknya (kasus-kasus korupsi yang terjadi di dunia politik umumnya dilandasi faktor uang).

Ada banyak sebab mengapa seseorang bersumpah terhadap suatu masalah.Secara umum dapat dijabarkan alasan tersebut sebagai berikut. Pertama, orang yang merasa benar, tetapi disalahkan, sehingga dia bersumpah agar dipercaya bahwa dia benar. Dua, orang yang merasa salah, dan dicap lingkungannya sebagai orang salah, lalu dia bersumpah agar lingkungan (atau masyarakat) mempercayainya bahwa dia benar.

Di alasan yang pertama sumpah mempunyai tujuan yang positif. Namun di alasan yang kedua sumpah mempunyai tujuan negatif. Memang sulit untuk mengatahui mana yang positif dan mana yang negatif, karena kita tidak terlibat langsung di dalam kasus-kasus itu, dan kondisi ini berpeluang dimanfaatkan secara psikologis oleh para penyampai pesan melalui cara meningkatkan intensitas kesadisan sumpahnya. Seolah semakin sadis sumpah dan sanksi hukuman yang dijanjikan, maka semakin benarlah seluruh ucapannya.

Penulis buku psikologi M Farouk Radwan Msc menulis dalam artikel bertajuk ‘Why Do Some People Swear All The Time’, bahwa ada 3 alasan mengapa orang kerap bersumpah. Satu, mereka dibebani oleh hal-hal negatif. Orang yang mengalami kondisi stress berkepanjangan akan marah pada dunia, dan dia selalu akan mempunya energi ekstra untuk keluar dari kondisi tersebut bahkan jika perlu dengan bersumpah. Dua, untuk mendapatkan suatu identitas jati diri. Ada yang kerap bersumpah untuk mendapatkan kesan sebagai orang bersih, atau orang agamis, atau orang baik-baik. Tiga, untuk melindungi diri mereka sendiri. Orang yang paling terluka biasanya adalah juga orang yang paling kuat menekan orang lain. Beberapa kelompok ingin melindungi diri mereka sendiri dengan menjaga jarak terhadap orang dan lingkungan luar. Orang-orang seperti itu mungkin akan bersikap dingin, tidak ramah, mem-bully atau terkadang mereka juga akan banyak bersumpah agar orang lain takut atau menjauh.

Tujuan Bersumpah

Menurut website Discovery Channel, bersumpah mempunyai 4 tujuan. Pertama, untuk mempertegas identitas atau eksistensi seseorang di dalam kelompoknya. Dua, untuk mempertegas solidaritas, kepercayaan dan kedekatan dengan orang lain. Tiga, untuk menambah tekanan dan atau humor. Empat, untuk menyembunyikan ketakutan atau ketidak-nyamanan (insecurity) seseorang.

Tujuan bersumpah bisa jadi juga merupakan gabungan dari keempat alasan di atas, karena tujuan tiap orang bersumpah selalu berbeda-beda disesuaikan dengan permasalahan dan kondisinya.

Namun perilaku yang kerapkali menggunakan kata sumpah untuk meyakinkan orang lain umumnya akan dianggap sebagai perilaku yang berlebih-lebihan dan cenderung tidak diterima dalam tatanan bermasyarakat. Tidak etis, tidak sopan dan tidak baik.

Apakah Bersumpah Itu Baik?

Apakah seseorang yang bersumpah demi nama Tuhannya, bila di kemudian hari terbukti bahwa dia bersumpah palsu atau salah, apakah itu sebuah dosa? Menurut pemahaman penulis, dan di dalam agama apa pun juga jawabnya adalah dosa. Dosa.

Hal itu juga berlaku di kasus-kasus sumpah (palsu) di persidangan korupsi. Dosa besar.

Menurut M Farouk Radwan Msc, bersumpah itu buruk. Bersumpah dengan menggunakan kata-kata yang tidak kontekstual dengan pokok permasalahan hanya akan merubah struktur sel otak dan mengakibatkan suasana hati kita menjadi buruk.

Menurut Malcolm X, aktivis HAM dan figur muslim Afro-Amerika itu, bersumpah adalah pertanda bahwa seseorang kurang kemampuan di dalam mengekspresikan diri sendiri. Jika seseorang kompeten dan menguasai permasalahan, maka dia akan berusaha secara kreatif untuk menjelaskan pokok permasalahan kepada orang lain secara positif.

Tidak perlu gantung diri dan potong leher. Atau nantinya potong ini dan itu. Atau hal-hal lain yang lebih ekstrem lagi. Kata-kata seperti ‘gantung saya di Monas dan potong leher saya’ secara eksplisit cuma ingin menegaskan bahwa perdebatan ini ‘cukup sampai di sini saja!’

Namun untuk menjadi kreatif itu memang tidak mudah. Dibutuhkan olah otak yang kontinyu agar kebiasaan kreatif itu menjadi suatu perilaku masyarakat yang beradab.

Berhenti Bersumpah

Menurut situs WikiHow ada 3 cara untuk berhenti dari kebiasaan bersumpah.

Pertama, latihlah dirimu sendiri untuk berhenti bersumpah. Hal ini dapat dilakukan dengan minta tolong seorang teman atau tenaga professional untuk mencari tahu faktor-faktor pemicu dan bagaimana menghindarinya. Atau gunakanlah tabungan sumpah, sehingga jika Anda tiap kali bersumpah, maka Anda harus menghukum diri Anda sendiri dengan harus memasukkan sejumlah uang ke tabungan itu. Tabungan itu dapat berfungsi sebagai hukuman, dan dapat juga sebagai hadiah di kemudian hari apabilan Anda telah berhasil lulus. Bisa juga dengan menggunakan karet gelang di pergelangan tangan Anda, sehingga tiap kali Anda bersumpah jepretkanlah karet tersebut ke lengan Anda. Sakit, dan efeknya memang di situ, tiap kali Anda mau bersumpah otak akan segera mengirim pesan ‘sakit’. Dan bersikaplah seolah nenekmu (atau orang yang Anda respek) selalu menyadap Anda pembicaraan Anda dari jauh. Dan terakhir hindari musik-musik yang liriknya penuh dengan kata umpatan, sumpah serapah dan kata-kata tidak sopan lainnya.

Kedua, rubahlah sikapmu. Yakinkan dirimu bahwa bersumpah adalah hal negatif. Latihlah diri untuk berpikir secara positif. Lalu bersabarlah terhadap dirimu sendiri.

Ketiga, rubahlah pola bicaramu. Menaruh perhatian kepada kebiasaan-kebiasaan bersumpahmu. Atau gantilah kata-kata sumpah dengan kata-kata lain yang mirip maknanya, namun tidak menyakitkan di telinga orang lain. Boleh juga menambah perbendaharaan kata-kata dengan sering membaca.

Semoga kita semua dapat menjadi pribadi-pribadi yang lebih santun, terutama buat para pejabat pemerintah di saat berbicara di depan media massa yang didengar dan dilihat oleh para rakyatnya. Agar rakyat paham bahwa para pejabat yang dipilihnya adalah pribadi-pribadi bukan penjual sumpah belaka, namun pribadi-pribadi yang pandai, santun, lurus dan kreatif dalam pengertian positif.

Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline