Lihat ke Halaman Asli

Ali Sodikin

Pemerhati Masalah Sosial Politik, Dosen Ilmu Komunikasi

Ahok dan Kampung Pulo

Diperbarui: 22 Agustus 2015   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok dan Kampung Pulo

Oleh : Ali Sodikin

Dengan permohonan maaf kepada teman-teman aktivis pergerakan, baik yunior maupun senior dan juga warga Jakarta, tulisan ini dibuat.  Menyingkapi pembongkaran dan penggusuran secara paksa di Kampung Pulo Jatinegara Jakarta Timur.  peristiwa yang membuat “geger” kita semua, khususnya warga Jakarta. 

Peristiwa pengusiran warga Kampung Pulo yang telah puluhan tahun mendiami wilayah bantaran Kali Ciliwung tersebut juga marak diekspose media massa, baik cetak, elektronik maupun online.  Begitu juga di medsos, berbagai status, baik pro maupun kontra berseliweran.  Status yang sebagian besar berisi caci maki, hujatan dan sumpah serapah yang ditujukan kepada Ahok Gubernur DKI Jakarta.  Orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas hilangnya “lahan” warga Kampung Pulo.

Awalnya, penulis juga merasakan keprihatinan yang sama, prihatin sebagai sesama warga Jakarta, prihatin karena banyak teman-teman, saudara-saudara kita yang tergusur dari tempat tinggal mereka yang sudah mereka tinggali bahkan beranak-cucu di Kampung Pulo tersebut.  Apalagi ditambah kiriman informasi maupun opini yang terus mengalir dari fasilitas media sosial.  Bahwa kebijakan Ahok adalah proses pengusiran warga pribumi  dengan menggunakan kekuatan aparat (Satpol PP, Polisi, dan TNI), politik tangan besi Ahok untuk menjadikan Jakarta seperti kasus di Afrika Selatan, ketika minoritas kulit putih melakukan politik kekerasan untuk mengusir penduduk asli (pribumi) dari tanah-tanah mereka.

Kondisi tersebut mendorong penulis untuk “peduli” dan mencoba mencermati peristiwa tersebut, namun justru penulis memiliki perspektif yang berbeda dengan teman-teman aktivis lainnya. Untuk itu penulis memohon maaf.  Tidak ada motif dan maksud apa-apa, hanya kebetulan cara pandang penulis sedikit berbeda saja.

Jakarta memang kota yang sangat padat.  Bisa jadi terpadat didunia.  Soal kepadatan ini, belum ada satupun Gubernur DKI Jakarta yang mampu mengurai secara sistematis dan terpadu. Arus urbanisasi dari tahun ke tahun kian deras masuk Ibukota. Tentu hal ini bukan semata-mata tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta.Ini adalah masalah nasional yang harus ditangani secara komprehensif baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah-pemerintah daerah. Karena penyumbang kepadatan Jakarta kita semua yang datang dari hampir seluruh wilayah Indonesia.

Lebih ironis lagi, wilayah yang kini disebut DKI Jakarta adalah wilayah yang tidak ideal untuk dibangun sebagai tempat hunian, Jakarta adalah wilayah resapan air dari daerah-daerah pegunungan di selatan. Rawa-rawa dengan banyaknya sungai yang mengalir lewat Jakarta. Salah satunya adalah sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Maka Jakarta adalah tempat “menggenangnya” air dari segala penjuru, baik karena hujan maupun meluapnya sungai-sungai tersebut.

Kerusakan lingkungan di hulu sungai-sungai tersebut tentu sangat berpengaruh pada intensitas gelombang air yang mengalir ke Jakarta. Maka, ketika musim hujan datang, Jakarta menjadi “comberan” bagi air yang mengalir dari daerah-daerah selatan. Hujan sedikit lebat saja, sungai Ciliwung akan meluap, dan Jakarta secara otomatis akan tergenang, apalagi jika curah hujan di Jakarta juga lebat, maka bisa kita bayangkan seperti apa kondisi Jakarta.

Siapapun Gubernur DKI Jakarta akan selalu menghadapi masalah-masalah yang sama, tanpa mampu berbuat banyak. Yang paling mungkin dilakukan ketika air bah datang adalah meminimalisir efek kerugiannnya, terutama soal jumlah korban jiwa.

Hampir 17 tahun penulis tinggal di Jakarta, dari waktu ke waktu, persoalan banjir selalu menghantui Jakarta tanpa ada solusi yang kongkrit. Yang ada adalah cerita sedih mereka yang rumahnya terkena banjir, eksploitasi penderitaan rakyat kecil yang tinggal dibantaran sungai Ciliwung, baik oleh media massa. Sementara partai politik dan elitnya berlomba menebar simpati untuk pencitraan berharap dapat mendulang suara dengan modal sembako.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline