Lihat ke Halaman Asli

Ketika Sri Sultan Mendukung Petani Tembakau

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Sri Sultan Mendukung Petani Tembakau

Di tengah arus mainstream kampanye antitembakau, sikap mengejutkan justru datang dari Sri Sultan Hamengku Bowono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menurutnya kampanye antitembakau akan menyebabkan jutaan petani tembakau dan pekerja pabrik kehilangan mata pencarian (Kompas.com, 2/4/2012).

Meminjam teori Harvey Brenner, Sri Sultan menyebut setiap 10 persen kenaikan pengangguran menyebabkan kematian naik 1,2 persen, serangan jantung 1,7 persen, dan harapan hidup berkurang tujuh tahun. Raja yang santun dan sederhana ini mengusulkan agar kampanye antitembakau perlu dikonsensus, bukan sebatas divonis haram atau merusak kesehatan.

Jika kampanye antitembakau tidak diwaspadai,demikian Sri Sultan, secara politis mudah ditunggangi kepentingan bisnis global yang akan mematikan industri rokok kita sendiri.

Sikap Sri Sultan menjadi kontraversial ketika kebanyakan pemerintah daerah lebih memilih menjadi perpanjangan tangan kampanye antitembakau yang di jajaran pemerintahan dipimpin langsung oleh Kementerian Kesehatan RI.

Kampanye pengendalian tembakau sendiri sudah menjadi isu global, termasuk badan kesehatan dibawah PBB yaitu WHO (World Health Organization) turut mengkampanyekan agar negara-negara di dunia meratfikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Di Indonesia, kampanye antitembakau disupport penuh oleh Yayasan Bloomberg Philanthropies yang bermarkas di New York Amerika, tujuannya agar Indonesia segera menerapkan regulasi larangan merokok, menerapkan kawasan dilarang merokok 100 persen, adanya peringatan bergambar pada bungkus rokok dengan ukuran besar dan larangan terhadap iklan rokok maupun sponsor rokok dalam berbagai kegiatan.

Untuk tujuan tersebut Bloomberg menggelontorkan dana hingga 5,4 triliun rupiah yang diberikan pada kolega-kolega di beberapa negara yang bekerjasama dengannya, kini ada sekitar 15 negara turut andil dalam proyek Bloomberg.

Di Indonesia, beberapa kolega yang dirangkul antara lain; institusi pemerintahan seperti Dinas Kesehatan Kota Bogor, sejumlah LSM seperti YLKI dan KPAI, institusi pendidikan diantaranya Institut Demografi FEUI, dan Ormas Muhammadiyah (Tembakausehat.com).

“Kami mendukung kelompok-kelompok yang ingin mengendalikan tembakau termasuk Muhammadiyah yang mengajukan dana melalui program pendidikan,” kata Kelly Henning MD salah satu perwakilan dari Bloomberg Philanthropies.

Maka tidak mengherankan jika kampanye  antirokok di Indonesia belakangan ini begitu gencar, bahkan sangat bising terdengar di berbagai media, terutama media online, setiap hari pasti dijumpai artikel baru yang menyerang tembakau dan rokok, ini melebihi kampanye beberapa tahun sebelumnya yang lebih ditekankan pada pembatasan kawasan merokok dan iklan rokok, sekarang lebih massif lagi pada kawasan 100 persen dilarang merokok, dilarang iklan dan dilarang promosi baik langsung maupun melalui program CSR, senada dengan kampanye global antitembakau.

Dalam konteks ini, statemen Sri Sultan seperti oase bagi eksistensi pertani tembakau dan pekerja pabrik, dua dari puluhan elemen masyarakat yang terkait dengan komoditas tembakau, yang dalam jangka panjang pasti akan menerima dampak dari upaya eliminasi tembakau oleh gerakan kampanye antitembakau.

Dibalik kampanye antirokok, ada jutaan warga masyarakat yang bergantung pada industri hasil tembakau, mulai dari tingkat hulu yakni petani tembakau itu sendiri, kemudian jutaan jiwa yang terlibat langsung maupun tidak langsung pada pabrik-pabrik rokok, serta di tingkat hilir banyak melibatkan perusahaan dan tenaga kerja di sektor distribusi dan perdagangan produk tembakau berupa rokok.

Di luar masalah tenaga dan pengangguran, pembelaan orang nomor satu di DIY tersebut bisa saja ditafsiri sebagai bentuk pertahanan diri (self defense) dari gempuran tradisi oleh infiltrasi neoliberalisme yang hanya mengusung nilai-nilai rasionalitas materialisme dengan mengabaikan kebijakan tradisi lokal.

Tanpa merujuk pada penelitian ilmiah sekalipun, kita mengalami adanya tradisi rokok kretek yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan itu terus berlangsung turun temurun. Sebagai tradisi, kretek telah menjadi bagian aktifitas sosial di masyarakat, tanpa pengaruh iklan, iming-iming hadiah, ataupun promosi dari SPG, kretek tidak saja bagian perekat dalam pergaulan sosial, tapi juga digunakan dalam suguhan acara perkumpulan warga, tahlilan, upacara adat, dan sebagainya.

Ibarat pepatah “Sekali dayung dua tiga pulau terlampau,” dalam mensikapi kampanye antitembakau, saya menilai Sri Sultan tidak saja hendak membela petani tembakau dan buruh pabrik rokok, tetapi juga membela tradisi kretek yang juga menjadi bagian dari tradisi bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline