Setelah remaja seorang tetangga saya bilang pada saya kalau waktu SD saya tidak mengangkat tangan ketika guru bertanya “Siapa yang punya Bapak?” Guru itu bertanya pada saya apa saya tidak punya Bapak? Saya menjawab bahwa saya tidak punya Bapak, yang saya cuma punya Ayah.
Mendengar kejadian yang sudah saya tidak ingat itu membuat saya tertawa.
Ada lagi cerita tentang anak SD yang ditanya gurunya “Siapa yang mau masuk surga?” Semua siswa mengangkat tangannya kecuali satu siswa yang menjawab kalau dia tidak mau masuk surga, dia maunya masuk tentara.
Apa yang dialami siswa SD tersebut merupakan sebuah kepolosan dan fitrah sebagai anak kecil. Mereka mengikuti naluri fitrahnya untuk berkata atau bertindak Namun kepolosan dan fitrah kita sebagai manusia mulai rusak ketika kita memasuki bangku sekolah. Kita dijejali oleh pelajaran-pelajaran yang kita sendiri tidak tahu kegunaannya. Menguasai pelajaran-pelajaran tersebut menjadikan diri kita penuh kepura-puraan dan melepas fitrah kita. Jika menjadi pintar adalah tujuan dari pendidikan kita maka bersiap-siaplah generasi mendatang akan lebih banyak menjadi koruptor atau manipulator karena menjadi pintar hanya terbatas pada ruang lingkup sekolah, tapi tidak di masyarakat dimana kita masih membutuhkan fitrah kita sebagai manusia, yaitu menjadi manfaat bagi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H