Lihat ke Halaman Asli

Ali Rahman

Penggiat UMKM dan Aktivis Lingkungan Hidup

Ngarot untuk Ngaruat Desa

Diperbarui: 26 Agustus 2024   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tatalu Sebagai salah satu budaya yang ditampilkan dalam acara Ngarot di Desa Karedok (Dok: Pribadi)

Desa Karedok adalah sebuah perkampungan padat penduduk yang terletak di Kecamatan Jatigede Sumedang Jawa Barat.  Sebagai desa agraris tentunya aktivitas warganya berkutat diseputar budidaya komoditi pertanian.  Beruntung letak Desa Karedok yang nyaris dikelilingi aliran sungai cimanuk.  Membuat penduduknya memilliki potensi sumber protein yang diambil dari ikan sungai cimanuk.   Sehingga secara tradisi penduduknya mengenal budaya pertanian dan perikanan sungai.  Bahkan keduanya sering dijadikan momen pertunjukan budaya berupa pagelaran atau atraksi tahunan desa yang dikemas dalam hajat desa atau Ngarot (ngaruat desa).

Tradisi Budidaya Pertanian

Beruntungnya warga Desa Karedok yang memiliki sumber air yang mengalir sepanjang tahun untuk budidaya padi sawah.  Apalagi sekarang sudah ada bendungan Jatigede, mestinya debit air untuk irigasi persawahan maupun budidaya perikanan akan lebih stabil.  Jangan sampai bendungan mengairi persawahan di indramayu dan sekitarnya, tetapi desa yang hanya berjarak tidak lebih dari 6 KM malah tidak kebagian suplai air yang memadai.

Karena melimpahnya sumber air, maka panen padi selalu 3 (tiga) kali dalam setahun.  Dulu pernah petani desa mencoba membudidayakan kedelai tetapi sepertinya tidak berlanjut meskipun pasarnya mestinya besar.  Hal ini mengingat Sumedang sebagai kota tahu, yang pasti memerlukan pasokan kedelai cukup besar.  Namun lagi-lagi karena poduktivitas dan harga kedelai tidak bagus maka petani kembali dengan pola tanam padi terus selama 3 kali dalam setahun.  Meskipun teknis budidaya seperti ini pastinya rentan diserang penyakit dan hama tanaman.  Pada gilirannya akan menurunkan produktivitas padi petani.

Kembali ke budaya pertanian.  Di Desa Karedok ada beragam adat istiadat yang mengiringi budaya menanam padi.  Ada tradisi uar.  Tradisi ini terjadi manakala padi di sawah diserang penyakit.  Biasanya para petani melakukan doa bersama sambil membawa tumpeng dan aneka makanan khas lainnya.  Para petani berkumpul di alun-alun desa.  Pemimpin adat dan perangkat desa memimpin upacara atau doa bersama tersebut.  Kadang disertai ucapan jangjawokan atau mantra yang diucapkan dalam bahasa sunda buhun.  Barangkali generasi sekarang banyak yang tidak faham arti dari rangkaian mantra yang diucapkan tetua desa tersebut.

Tradisi petani berikutnya menjelang panen ada yang disebut mipit.  Tradisi ini lebih kepada upaya rasa sukur menjelang panen padi di sawah.  Warga biasanya membawa semacam sesajian berupa tumpeng congcot yang diatasnya diletakan telor, secangkir kopi pait, cerutu, dan aneka kudapan khas serta beberapa jenis bunga.  Melalui tradisi ini sang empu sawah berharap panen yang segera akan dilakukan bisa membawa keberkahan. Lantunan doa biasanya dilakukan sesaat setelah sesajian diletakan di pematang sawah. 

Aneka tradisi budaya tersebut dilakukan tidak terlepas dari hubungan transenden yang dilakukan para petani dengan Tuhan Pemilik Alam Semesta Raya.  Tradisi tersebut membuktikan betapa lemah dan ringkihnya segala daya dan upaya tanpa adanya ridho dan keberkahan yang diberikan Sang Pencipta Jagat Raya, Allah SWT.  Para petani menyadari betul gagal dan melimpah ruahnya hasil panen adalah sepenuhnya hak prerogratif Tuhan.  Adapun bibit padi unggul, pupuk berimbang, penanganan hama dan penyakit serta pengaturan irigasi air merupakan wilayah ikhtir petani sebagai manusia.  

Budaya Sungai

Untuk tradisi ataupun kebudayaan air yang melekat di Desa Karedok ada yang khas yaitu tradisi muka rumpon.  Tradisi ini konon kabarnya sudah ada sejak zaman kerajaan sumedang larang masih berdiri.  Konon sang pangeran sumedang sering berkegiatan di desa yang sekarang bernama karedok.  Bahkan penamaan karedok sendiri menurut salah satu versi bersumber dari salah seorang pangeran sumedang yang kebetulan senang mencari ikan di kali cimanuk.

Tradisi muka rumpon dilakukan warga desa menjelang acara besar desa atau hajat desa (ngarot).  Beberapa bulan sebelum kegiatan biasanya warga desa membuat rumpon dari bambu dan bahan-bahan lainnya sehingga ikan betah tinggal di bawah rumpon tersebut. Pada hari yang ditentukan rumpon dibuka.  Maka mulailah gelaran hajat mengambil ikan dilakukan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline