Lihat ke Halaman Asli

Aliqa Syawal

Mahasiswa

Maleficent:sebuah reinterpretasi dongeng klasik melalui lensa feminisme

Diperbarui: 17 Desember 2024   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film Maleficent, yang dirilis pada tahun 2014, bukan hanya menghidupkan kembali kisah klasik Sleeping Beauty, tetapi juga menawarkan perspektif baru yang kuat dengan pendekatan feminisme. Disutradarai oleh Robert Stromberg dan dibintangi oleh Angelina Jolie sebagai Maleficent, film ini memberikan pandangan mendalam tentang karakter antagonis yang selama ini dianggap jahat. Dengan menggali latar belakang dan motivasi Maleficent, penonton diajak untuk melihat cerita dari sudut pandang yang berbeda, menantang stereotip gender dan norma sosial yang ada.

1. Latar Belakang Cerita

Dalam versi klasik Sleeping Beauty, Maleficent digambarkan sebagai penyihir jahat yang mengutuk putri Aurora karena tidak diundang ke pesta kelahirannya. Namun, dalam Maleficent, kita diperkenalkan kepada sosok Maleficent sebagai peri yang kuat dan berani, memiliki hubungan mendalam dengan alam. Cerita dimulai dengan masa kecilnya di hutan magis, di mana dia hidup damai sebelum dikhianati oleh manusia bernama Stefan, sahabatnya. Pengkhianatan ini menjadi titik balik dalam hidup Maleficent, mengubahnya dari sosok penuh cinta menjadi karakter yang diliputi dendam.

2. Reinterpretasi Karakter Maleficent

Salah satu elemen paling menarik dari Maleficent adalah cara film ini menggambarkan tokoh utamanya. Maleficent bukan sekadar antagonis; dia adalah korban dari pengkhianatan dan ketidakadilan. Dalam banyak dongeng klasik, perempuan sering kali digambarkan sebagai sosok pasif yang menunggu penyelamatan dari pangeran. Namun, Maleficent menunjukkan bahwa perempuan dapat mengambil alih kendali atas nasib mereka sendiri. Dia tidak hanya bereaksi terhadap tindakan orang lain, tetapi juga membuat keputusan aktif yang mempengaruhi jalannya cerita.

Film ini juga menggambarkan kompleksitas emosi Maleficent. Dia mengalami cinta, kehilangan, dan akhirnya penebusan. Ketika dia mengutuk Aurora, itu bukan sekadar tindakan kejahatan; itu adalah ungkapan rasa sakit dan kekecewaan akibat pengkhianatan Stefan. Melalui lensa feminisme, kita dapat melihat bahwa tindakan Maleficent dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya sebagai seorang perempuan yang dikhianati dan disakiti oleh laki-laki.

3. Tema Persahabatan dan Cinta

Film ini juga mengeksplorasi tema persahabatan dan cinta dengan cara yang berbeda. Alih-alih menggambarkan cinta romantis sebagai kekuatan utama, Maleficent menyoroti cinta antara dua perempuan: Maleficent dan Aurora. Saat Aurora tumbuh dewasa, dia tidak hanya menjadi objek dari kutukan Maleficent tetapi juga menjadi subjek dari hubungan yang lebih dalam. Cinta mereka berkembang seiring waktu, menunjukkan bahwa ikatan antar perempuan dapat menjadi sumber kekuatan.

Cinta antara Maleficent dan Aurora adalah bentuk cinta yang tidak bergantung pada laki-laki atau hubungan romantis. Ini mencerminkan gagasan feminis bahwa perempuan dapat saling mendukung dan memperkuat satu sama lain tanpa harus bergantung pada pria untuk validasi atau kebahagiaan mereka.

4. Kritik Terhadap Patriarki

Maleficent juga menyajikan kritik tajam terhadap sistem patriarki. Dalam film ini, pengkhianatan Stefan terhadap Maleficent mencerminkan bagaimana laki-laki sering kali mengeksploitasi perempuan untuk keuntungan pribadi mereka. Stefan berusaha meraih kekuasaan dengan mengkhianati sahabatnya demi mendapatkan mahkota. Ini menunjukkan bahwa dalam banyak budaya, ambisi laki-laki sering kali datang dengan mengorbankan perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline