Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Catatan 90s: (9) Kapal-kapal Laut Bernama Gunung-gunung

Diperbarui: 26 Januari 2021   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KM Lambelu (Foto: niaga.asia)

Apakah benar nenek moyangku seorang pelaut? Entahlah. Mungkin saja kalau terus dirunut sampai beberapa generasi ke atas. Seingat saya, kalau sampai generasi keempat sebelum saya, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, rasanya tak ada yang menjadi pelaut.

Dari pihak bapak, kakek seorang petani, ke atasnya juga katanya begitu. Tinggal di Ciamis utara yang lebih berupa pegunungan, dan jauh dari laut. Dari pihak ibu, kakek petani dan usaha angkutan. Ke atasnya sama. Dan hampir semuanya tak banyak yang berurusan dengan laut.

Bapak saya pernah berurusan dengan laut waktu jadi sukarelawan di masa konfrontasi Malaysia, dan bertugas di sekitar kepulauan Riau yang dekat-dekat dengan Malaysia. Itupun tak lama, selesai balik ke Bandung dan jadi PNS di lingkungan Kodam Siliwangi.

Kakek dari Ibu juga pernah berurusan dengan laut. Ia menunaikan ibadah haji saat perjalanan masih ditempuh menggunakan kapal laut selama berbulan-bulan. Konon untuk beribadah haji waktu itu, dari berangkat sampai kembali bisa sampai setengah tahun. Itupun kalau balik. Sebagian lagi tak selamat. Ada yang dimakamkan di Tanah Suci. Ada pula yang dilarung ke laut jika meninggal dalam perjalanan.

Setelah itu, dari lingkaran keluarga dekat giliran saya yang berurusan dengan laut, itu juga tak jadi pelaut, hanya saja kuliah di kota yang berada di tepi laut, di Makassar. Urusan penting saya dengan laut adalah urusan mudik ke kampung dan balik ke Makassar.

Mudik pertama saya, tahun 1996 --setelah dua tahun tak mudik---jadi pengalaman pertama naik kapal laut milik Pelni. Kapal yang saya tumpangi adalah KM Kambuna. Tak jauh-jauh, dari Makassar ke Surabaya saja dengan waktu tempuh hampir 24 jam. Padahal bisa saja saya lanjut ke Tanjung Priok Jakarta, jarak ke kampung lebih dekat. Tapi belum berani lama-lama. Pun banyak tawaran mampir dari kawan-kawan di Jawa Timur.

Barulah balik dari kampung ke Makassar, naik kapalnya dari Jakarta. Giliran KM Ciremai yang saya tumpangi. Dua hari dua malam --setelah singgah di Surabaya dulu---untuk sampai di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar.

Setelah itu, makin sering naik kapal laut. Beberapa diantaranya adalah KM Kambuna, KM Kerinci, KM Umsini, KM Lambelu, KM Bukit Siguntang, KM Sirimau, dan lainnya, lupa. Tempat tujuannya makin beragam, dari hanya Surabaya dan Jakarta, bertambah lagi ke Balikpapan, Bitung, Ambon, Baubau (Buton), hingga Sorong Papua.

Selain Jakarta dan Surabaya yang urusannya adalah pulang, yang lain-lain itu adalah untuk main ke tempat kawan-kawan yang memang banyak berasal dari Timur.

Naik kapal laut, bagi orang 'darat' seperti saya bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi kalau sudah terserang mabuk laut. Pernah dalam perjalanan Makassar-Surabaya saya mabuk laut. Makan tak enak tidur tak nyenyak. Untung saja tak sendirian, bersama rombongan sesama mudikers, jadi ada yang membantu, setidaknya ngerokin punggung biar lebih segar.

Tak mabuk pun, naik kapal laut itu tak terlalu nyaman. Apalagi, seumur-umur, tak pernah beli tiket yang berkamar, selalu kelas ekonomi yang lebih sering tak kebagian tempat tidur. Tidur di lorong, bawah tangga, dek luar dekat sekoci, bahkan pernah di dekat cerobong saking penuhnya kapal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline